AdvertisementAdvertisement

Ramadhan, Madrasah Latihan Jiwa Menuju Takwa dan Pengendalian Diri

Content Partner

HARI ini kita sudah berada di hari ke-11 ibadah puasa Ramadhann1446 Hijriyah. Begitu cepat rasanya waktu berlalu, sementara kita merasa belum sepenuhnya menyerap hikmah bulan suci ini.

Bulan yang sejatinya merupakan madrasah latihan spiritual yang langka, sebuah perjalanan batin yang mengajarkan kesabaran, empati, dan pengendalian diri.

Dalam Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah ayat 183 menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Barangkali, inilah lafas Al Qur’an paling viral saat ini yang dikutip dimana mana setiap saat.

Namun, sekali lagi, penting bagi kita untuk berefleksi kembali mengenai esensi takwa yang terkandung dalam ayat ini.

Takwa, yang diterjemahkan sebagai kesalehan, ketundukan, atau ketakutan kepada Allah, pada hakikatnya adalah kemampuan untuk mengendalikan diri di tengah godaan duniawi.

Secara historis, puasa bukanlah praktik eksklusif dalam Islam. Tradisi menahan diri dari makan dan minum telah ada dalam berbagai agama dan budaya, seperti Yom Kippur dalam Yahudi atau puasa Lent dalam Kristen.

Namun, dalam konteks Islam, puasa Ramadan memiliki dimensi yang unik karena durasinya yang panjang—sebulan penuh—dan cakupannya yang meliputi tidak hanya pantangan fisik, tetapi juga pengendalian emosi dan pikiran.

Menurut sebuah studi oleh Pew Research Center (2017), sekitar 1,8 miliar Muslim di seluruh dunia melaksanakan puasa Ramadan setiap tahunnya. Laman GoodStats mencatat, jumlah umat Muslim per Maret 2025 ini mencapai 2,04 miliar, mewakili 25% dari total populasi dunia. Islam pun menjadi agama terbesar kedua di dunia setelah Kristen.

Angka tersebut menunjukkan betapa puasa telah menjadi fenomena global yang tidak hanya bersifat individu, tetapi juga kolektif, mengikat komunitas dalam solidaritas spiritual.

Dari perspektif ilmiah, puasa memiliki dampak signifikan terhadap tubuh dan pikiran. Penelitian dalam jurnal Nutrients (2021) menunjukkan bahwa puasa intermiten, seperti yang dilakukan selama Ramadan, dapat meningkatkan sensitivitas insulin, mengurangi peradangan, dan bahkan memperbaiki fungsi kognitif.

Namun, manfaat puasa tidak berhenti pada ranah fisik. Psikolog Daniel Kahneman dalam teorinya tentang pengendalian diri (self-control) menyatakan bahwa kemampuan seseorang untuk menahan dorongan instan merupakan indikator utama kedewasaan emosional dan intelektual.

Puasa, dalam hal ini, menjadi laboratorium alami bagi umat Muslim untuk melatih otot pengendalian diri mereka. Ketika seseorang menahan lapar, haus, dan keinginan lainnya dari fajar hingga senja, ia secara tidak langsung membangun ketahanan mental yang dapat diterapkan dalam aspek kehidupan lain.

Namun, puasa tidak hanya tentang menahan diri dari kebutuhan fisik. Ia juga mengajarkan empati dan kepedulian sosial. Data dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Indonesia pada 2023 menunjukkan bahwa pengumpulan donasi zakat infaq sedekah (ZIS) dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya (DSKL) secara nasional pada tahun 2023 mencapai Rp32.321 triliun atau mengalami peningkatan sebesar 43.74% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp22.485 triliun. Secara nasional, angka penyaluran terhadap pengumpulan pun meningkat yang mencapai 88.82 persen.

Secara nasional di tahun yang sama, jumlah muzakki (pemberi zakat/ donatur) juga mengalami peningkatan. Di tahun 2022 jumlah muzaki perorangan adalah sebanyak 21,389,615 dan meningkat menjadi 34,761,785 muzaki.

Fenomena ini bukanlah hal yang kebetulan. Ketika seseorang merasakan lapar—meski hanya sementara—ia menjadi lebih peka terhadap penderitaan orang lain yang mengalami kelaparan secara kronis.

Dalam sebuah jurnal yang diterbitkan Bradford University Inggris (2025) menunjukkan bahwa puasa selama Ramadan tertanam dalam dan dianggap berdampak pada semua aspek kehidupan sehari-hari, dimana masyarakat semakin menyadari privilege dan lebih termotivasi untuk membantu mereka yang tidak beruntung.

Pengalaman tersebut merefleksikan bagaimana puasa dapat menjadi katalis untuk membangun jiwa yang peduli, sebuah nilai yang kian relevan di tengah dunia yang sering kali terjebak dalam individualisme.

Meski demikian, puasa tidak selalu mudah. Tantangan seperti kelelahan, irritability, atau godaan untuk berbuka sebelum waktunya sering kali muncul, terutama di era modern di mana makanan dan minuman tersedia dalam jangkauan tangan. Di sini, logika takwa menjadi ujian sejati.

Jika kita merujuk pada definisi takwa menurut Imam Al-Ghazali, ia bukan sekadar ketaatan pada perintah, tetapi kemampuan untuk memilih yang benar meski tidak ada yang melihat.

Dalam konteks puasa, takwa diwujudkan saat seseorang tetap menahan diri meski berada dalam situasi di mana ia bisa saja melanggar tanpa diketahui orang lain. Ini adalah bukti bahwa puasa bukanlah pertunjukan sosial, melainkan perjalanan personal menuju kesucian jiwa.

Refleksi lebih lanjut atas pengalaman puasa ini kemudian membawa kita pada pertanyaan mendasar: apa yang sebenarnya kita kejar dalam hidup ini?

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang menawarkan kepuasan instan, puasa mengajak kita untuk berhenti sejenak, merenung, dan kembali pada esensi kemanusiaan.

Puasa mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada konsumsi tanpa batas, tetapi pada kemampuan untuk mengendalikan diri dan berbagi dengan sesama.

Data dari World Happiness Report (2024) menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat solidaritas sosial yang tinggi cenderung memiliki indeks kebahagiaan yang lebih baik. Puasa, dengan segala dimensinya, menjadi salah satu jalan menuju kebahagiaan kolektif tersebut.

Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali hakikat puasa dalam membentuk jiwa Muslim yang peduli dan berdisiplin. Puasa adalah cermin yang menunjukkan sejauh mana kita mampu mengendalikan diri—bukan hanya dari lapar dan haus, tetapi juga dari amarah, keserakahan, dan sikap acuh tak acuh.

Takwa, pada akhirnya, bukan semata tentang seberapa banyak kita beribadah secara ritual, melainkan seberapa kuat kita menjaga integritas saat sendirian.

Di bulan Ramadan, kita diajak untuk melahirkan kembali jiwa yang peka terhadap penderitaan, yang sabar dalam menghadapi ujian, dan yang mampu berkata “tidak” pada godaan yang bisa membinasakan. Bukankah ini esensi dari kehidupan yang bermakna?

Dalam keheningan puasa, kita menemukan kekuatan untuk menjadi manusia yang lebih baik—bagi diri sendiri, bagi sesama, dan bagi Sang Pencipta.[]

Reporter: Ummu Syamaidzar
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Maksiat Korupsi dan Refleksi Ramadhan untuk Penyucian Jiwa Bangsa

KORUPSI adalah luka menganga dalam tubuh bangsa, sebuah maksiat yang tidak hanya merugikan individu, tetapi juga umat, bangsa, dan...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img