
JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect) Imam Nawawi mengatakan Al-Qur’an adalah sebagai sumber literasi terbaik. Demikian hal itu disampaikan dalam acara daring bertajuk “Ramadhan Saat Indah Membangun Cara Berpikir Qur’ani”, Jum’at pagi, 14 Ramadhan 1446 (14/3/25).
Imam menegaskan, bulan Ramadan menjadi momen yang tepat untuk merenungkan bagaimana cara kita menikmati Al-Qur’an.
“Al-Qur’an sebagai sumber literasi terbaik,” cetus Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah periode 2020-2023 ini.
Literasi, kebaikan, dan kesadaran diri adalah pilar penting dalam membangun individu dan masyarakat yang berpikir kritis serta bertindak konstruktif.
Imam menjelaskan, sumber literasi terbaik adalah Al-Qur’an mengundang kita untuk mendefinisikan ulang literasi. Literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan memahami, menganalisis, dan menerapkan pengetahuan secara bijaksana.
Al-Qur’an, dengan 6.236 ayatnya, tidak hanya menawarkan narasi spiritual, tetapi juga dorongan untuk berpikir kritis. Misalnya, dalam Surah Al-Baqarah (2:164), manusia diajak merenungkan tanda-tanda alam—rotasi bumi, pergantian siang dan malam, serta keajaiban ekosistem—sebagai bukti kebesaran Allah.
“Ini adalah panggilan untuk intelektualisme, bukan dogma buta,” tegasnya, dalam acara yang dipandu Muhaimin Abu Kayyis itu.
Dalam kehidupan modern, data UNESCO (2024) menunjukkan bahwa tingkat literasi global telah mencapai 87%, namun literasi fungsional—kemampuan memahami dan memecahkan masalah—masih tertinggal, terutama di negara berkembang.
Al-Qur’an, dengan pendekatannya yang mengintegrasikan akal dan hati, tegas Imam, dapat menjadi solusi untuk mengisi celah ini, jauh melampaui sekadar buku teks.
Dia juga merespon seorang peserta yang bertanya tentang bagaimana merawat aktifisme kebaikan yang dilakukan agar konsisten meskipun sedikit dan tanpa apresiasi dari orang lain.
“Melakukan kebaikan secara konsisten itu tidak mudah, oleh karena itu motivasinya harus karena Allah,” jawabnya, yang menyinggung tantangan psikologis dan sosial dalam menjaga integritas moral.
Dia menjelaskan, konsistensi dalam perilaku prososial menurun ketika motivasi bersumber dari validasi eksternal—seperti pujian atau penghargaan—dibandingkan dengan motivasi intrinsik yang lebih tahan lama.
Dalam kerangka Islam, motivasi “karena Allah” menawarkan landasan yang kokoh, karena ia tidak bergantung pada fluktuasi opini manusia atau imbalan material. Ini relevan di era media sosial, di mana 4,9 miliar pengguna aktif sering kali terjebak dalam “performative goodness”—kebaikan yang dipamerkan demi likes dan retweet, bukan nilai sejati.
Dengan menjadikan Allah sebagai tujuan, seseorang dapat melepaskan diri dari jebakan ini dan membangun konsistensi yang autentik.
“Kita harus fokus pada apa kata Al-Qur’an, bukan kata manusia,” katanya, yang menawarkan kritik tajam terhadap dinamika sosial kontemporer. Kata-kata manusia, sebagaimana diingatkan, rentan terhadap kesalahan dan bias.
Riset dari Pew Research Center mengungkap bahwa 62% informasi yang beredar di platform seperti X mengandung distorsi atau manipulasi narasi, sering kali untuk memicu emosi ketimbang logika.
Sebaliknya, Al-Qur’an menawarkan kerangka berpikir yang sistematis—lihat Surah Ar-Rahman (55:1-4) yang menggarisbawahi penciptaan manusia dengan kemampuan berbicara dan berpikir sebagai anugerah ilahi.
Fokus pada Al-Qur’an bukan berarti menolak diskursus manusia sama sekali, tetapi memosisikan wahyu sebagai filter untuk menyaring kebisingan informasi.
Ini penting di tengah banjir konten digital yang, menurut Global Web Index (2025), mencapai 2,5 kuintiliun byte data baru setiap hari berdasarkan laporan tren digital tahunan—sebagian besar penuh dengan opini yang kontradiktif dan minim substansi.
Terakhir, Imam juga menyerukan agar “jangan terbawa ilusi, bangun budaya baca” sebagai panggilan untuk aksi. Ilusi di sini dapat diartikan sebagai persepsi keliru yang lahir dari konsumsi informasi pasif tanpa refleksi.
Data dari World Literacy Foundation (2024) menunjukkan bahwa hanya 34% populasi global secara rutin membaca untuk memperluas wawasan, sementara sisanya terpaku pada hiburan atau berita sensasional.
Budaya baca yang berorientasi pada sumber seperti Al-Qur’an dapat menjadi antidot, karena ia tidak hanya menyediakan teks, tetapi juga metode—tadabur, yaitu perenungan mendalam.
Di Indonesia sendiri, survei Perpusnas (2023) mencatat minat baca masih rendah di angka 63,9 menit per minggu, jauh tertinggal dibandingkan negara maju seperti Jepang (300 menit).
Mengintegrasikan Al-Qur’an dalam budaya baca bukan sekadar soal agama, tetapi juga strategi intelektual untuk melawan kemalasan berpikir.
Al-Qur’an sebagai sumber literasi menawarkan kedalaman yang tak tertandingi, motivasi ilahi memberikan ketahanan, fokus pada wahyu melindungi dari bias manusia, dan budaya baca menjadi senjata melawan ilusi. Di tengah krisis informasi dan degradasi nilai saat ini, pendekatan ini bukan hanya relevan, tetapi mendesak.[]