PERNAHKAH Anda diberi sesuatu yang sangat istimewa yang sudah lama diinginkan namun nyaris mustahil didapat karena harganya yang selangit?
Katakanlah, barang itu dikerjakan dengan ketelitian level master, mutu bahannya diambil dari kualitas tertinggi, jenisnya pun sangat langka dan hanya dibuat dalam jumlah terbatas bahkan satu-satunya.
Tiba-tiba, suatu hari, sebuah paket diantar ke alamat Anda dan benda itu ada di dalamnya, disertai nota singkat: “Hadiah untukmu, nikmati dan bergembiralah!”
Bagaimana perasaan Anda saat itu? Sudah teramat jelas, bukan? Gembira, kaget, takjub, surprise luar biasa. Bahkan, tanpa disuruh bergembira pun Anda akan melakukannya.
Akan tetapi, sudah sangat lama ada suatu pemberian luar biasa di tengah-tengah kita, sementara kita belum juga merasa gembira karenanya. Bahkan, sampai-sampai si pemberinya menyuruh kita untuk bergembira.
Sejauh itu, masih saja kita tidak menampakkan kegembiraan. Biasa-biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa.
Pemberian apakah itu? Dialah Al-Qur’an!
Allah berfirman,
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS Yunus: 57-58)
Sedikit renungan bagi kita. Di sini Al-Qur’an disebut dengan 4 sifat dan fungsi, yaitu mau’izhah (nasihat, pelajaran), syifa’ (obat, penyembuh), huda (petunjuk, bimbingan), dan rahmat. Inilah di antara fadha’il (keutamaan-keutamaan) Kitabullah yang paling pokok.
Sesungguhnyalah, tidak ada pemberian yang sesempurna ini. Ia merangkum semua yang kita butuhkan dalam mengarungi kehidupan.
Nasihat dan pelajarannya meneguhkan hati, mengorientasikan pilihan, dan mengoreksi kesalahan. Obatnya menyembuhkan semua penyakit dan gangguan yang meresahkan jiwa, mengeruhkan hati, dan mengacaukan pikiran.
Petunjuk-petunjuk Al Qur’an membimbing kita menuju jalan lurus dan terjamin keselamatannya menuju Allah.
Adapun rahmatnya, ia merupakan bekal serta sandaran yang selalu kita butuhkan di atas seluruh keterbatasan, kekhilafan, dan kekurangseriusan kita.
Kurang apa lagi?
Maka, sudah selayaknya kita bergembira diberi karunia sehebat itu. Tapi, benarkah kita bergembira menerimanya? Atau justru merasa susah mendapatinya?
Sebenarnya, bagi orang yang benar-benar mengimani dan mengerti, Al-Quran itu jauh lebih baik dibanding seluruh harta dan kemegahan duniawi yang mereka kumpulkan. Ya, hanya bagi mereka yang mengimani dan mengerti.
Telitilah lembar-lembar Sirah Nabawiyah, dan akan kita dapati orang-orang yang telah memahami hakikat ini dengan sempurna. Dimulai dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri, empat khalifah pertama dan 6 orang lain yang dijamin surga, demikian seterusnya.
Lihat saja Mush’ab bin ‘Umair yang melepas hak warisnya demi akidah ini. Karena iman ditinggalkannya keluarga konglomerat meski diancam tidak diberi warisan sepeser pun.
Maka, pemuda yang semula dikenal necis dan wangi ini, akhirnya gugur di Perang Uhud dalam kondisi tidak memakai pakaian yang cukup lebar untuk sekedar menutup jenazahnya secara sempurna.
Perhatikan pula Ummu Habibah binti Abu Sufyan yang memilih berhijrah ke Habasyah dibanding berdiam di tengah kaumnya yang kaya-raya namun musyrik. Ayahnya adalah pemimpin kaum kafir dan sangat keras memusuhi Islam.
Ummu Habibah tidak peduli harus melarat di negeri asing, demi menjaga iman. Contoh-contoh lain seperti ini masih teramat melimpah.
Pada ayat di atas, kegembiraan terhadap karunia Allah berupa Al-Quran dinyatakan dalam bentuk fi’il amar (kata perintah).
Dalam bahasa Arab, pola kalimat ini menyatakan sesuatu yang belum terjadi, masih menyimpan kemungkinan “iya” sekaligus “tidak” di dalamnya; dan disebut “jumlah insya’iyyah”. Lawannya adalah “jumlah khobariyah”, yaitu pola kalimat yang isinya menceritakan sebuah fakta.
Mengapa kalimatnya diungkap dengan cara begitu? Demikianlah kenyataannya, bahwa kebanyakan kita belum bisa bergembira menerima Al-Quran, sehingga secara eksplisit Allah harus menyuruh kita mewujudkannya.
Ayat tersebut tidak menyatakan: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya mereka bergembira.” Bukan begitu, sebab faktanya belum tentu demikian.
Ayat ini tidak menceritakan sebuah kejadian. Ia menyuruh kita bergembira, atau mengupayakan supaya bisa bergembira, karena kegembiraan itu memang belum ada dan tidak satu paket bersama Al-Quran. Tapi harus diusahakan dan diperjuangkan agar menjadi ada. Maka, di sana dikatakan: “hendaklah dengan itu mereka bergembira.”
Pertanyaannya sekarang, “Apakah keberadaan Al-Quran menggembirakan kita?”
Bila belum, bagaimana upaya kita agar bisa mewujudkan perintah Allah ini? Bunyinya sangat jelas, tidak ambigu: “hendaklah dengan itu mereka bergembira.”
Sungguh Allah tahu bagaimana kita menyikapi kalam-Nya, sehingga secara khusus kita diminta bergembira. Jika saja Allah tahu bahwa kita pasti dan secara alamiah bergembira menerimanya, tentu akan Dia ungkapkan di sini. Namun, karena kita tidak demikian, maka Allah pun harus menyuruhnya.
Sungguh, kita memang tidak menghargai pemberian-Nya dengan sebenar-benarnya penghargaan, sehingga harus disuruh lebih dahulu. Bukankah emas, perak, dan harta benda duniawi seringkali lebih berharga dibanding firman-Nya? Astaghfirullah!
Ayat-ayat ini sekaligus menegaskan apa yang disampaikan dalam surah Al-Qalam, perihal nilai dan harga Al-Quran. Bahwa, dengannya hidup kita menjadi lurus, terarah, bermanfaat, bahagia, dan seterusnya. Kita tidak menjadi gila, resah, bingung, dan dipenuhi kesia-siaan.
Di sana, Allah berfirman: “Berkat nikmat Tuhanmu, engkau (hai Muhammad) sekali-kali bukan orang gila.” (QS Al-Qalam: 2).
Wallahu a’lam.
*) Ust. M. Alimin Mukhtar, penulis pengasuh Ar Rohmah Pondok Pesantren Hidayatullah Batu Malang