Hidayatullah.or.id – Pondok Pesantren Hidayatullah Surabaya bekerjasama dengan DPW Hidayatullah Jawa Timur menggelar acara pernikahan massal (walimatul ursy) sebanyak 4 pasang santri, Sabtu lalu (8/07/2017).
Pernikahan massal atau yang dalam istilah Hidayatullah dikenal dengan “Pernikahan Massal Mubarak” dihadiri ratusan undangan dan hadirin termasuk keluarga dari masing-masing mempelai.
Acara yang berlangsung di Masjid Aqshal Madinah Pesantren Hidayatullah Surabaya ini diisi taushiah yang disampaikan oleh ustadz yang juga Guru Besar Balaghah IAIN Sunan Ampel, Prof. DR. Husein Aziz.
Prof Husein dalam taushiahnya mengingatkan bahwa keluarga adalah pilar dari tegaknya perdaban Islam. Dalam keluarga muslim, katanya mengdepankan tanggungjawab, bukan saling menuntut hak.
“Dalam hidup berrumah tangga, tidak ada hak. Yang ada adalah tanggung jawab. Seperti dalam hadits, ‘Kullukum ro’in, wa kullukum mas’ulun’,” kata Prof Husein.
Beliau kemudian menjelaskan. Mas’ul dalam kata hadits tersebut berarti ingin memberi, tidak ingin diberi. Tetapi menyantuni, menghormati, menyantuni, menyayangi, dan sebagainya. Bukan sebaliknya.
“Begitu juga dalam hidup bermasyarakat. Konflik-konflik lahir dari situ. Menuntut hak, bukan perhatian pada tanggung jawab,” imbuhnya.
Beliau mengimbuhkan, rumah tangga yang sudah 20 tahun, kata ahli bangunan, harus dibongkar karena dianggap tidak layak lagi.
“Tapi karena terus menerus ada maaf antar suami dan istri, maka bisa bertahan (kokoh). Terus hidup (berdiri tegak),” tukasnya.
Jadi, tegasnya, ide tentang hal itu dari Barat sejatinya merusak dan menghancurkan. Adapun dalam Islam tidak dikenal istilah hak, yang ada adalah tanggung jawab.
Kebaikan dalam Islam, jelasnya, adalah dari luar ke dalam (sentripetal) berbuat untuk orang lain, memberi tanpa beban (pamrih).
Adapun kebaikan selainnya adalah dari dalam ke luar (sentrifugal). Hal ini seperti obat nyamuk, berbuat baik untuk orang lain tapi tujuannya kembali untuk dirinya sendiri. Ada interes pribadi.
“Nikah itu aktivitas lahir dari hasrat. Hasrat dari ketertarikan. Ketertarikan dari keindahan. Demi suatu keindahan, bisa berkorban apa saja,” lanjutnya.
Lebih jauh beliau menekankan pentingnya membangun keluarga terpimpin dengan bimbingan wahyu yang segala aktifitasnya berorientasi pengabdian diri kepada Allah Ta’ala.
“Kalau orang bergerak karena perut (karena ambisi), maka nilainya sama dengan isi perutnya. Kalau orang bergerak karena kemaluan, maka nilainya sama dengan kemaluan. Dipimpin Allah itu pasti baik. Karena sumbernya Allah,” katanya.
“Akhlak mulia, jika pertimbangannya adalah Allah. Jika tidak, maka itu kejahatan simbolik. Lahiriahnya bagus, padahal aslinya menjerat. Ada kepalsuan. Akhlak baik itu, jika tidak ada egoisme. Murni karena Allah,” tambahnya. */Robinsah