AdvertisementAdvertisement

Dakwah Situs Islam dan Cita-cita Pendiri Negara

Content Partner

Masyarakat lakukan aksi simpatik menolak pemblokiran situs Islam / Hdc
Masyarakat lakukan aksi simpatik menolak pemblokiran situs Islam / Hdc

Oleh Kholili Hasib

PEMERINTAH akhirnya melakukan normalisasi terhadap situs-situs media Islam yang sempat dicurigai berbahaya.  Hampir sepekan kasus ini menyita perhatian publik, khususnya kaum Muslim Indonesia.

Sebelumnya,  sempat ada suara-suara yang mendukung penutupan 19 situs Islam dengan beralasan bahwa situs media Islam itu bertentangan dengan Pancasila serta membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentu saja tuduhan tersebut berlebihan.

Salah satu portal berita Islam hidayatullah.com, misalnya, telah beroperasi selama 19 tahun, ikuti mengiri pergantian banyak pemimpin Indonesia. Dari masa kepeimpinan Presiden Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo B Yudhoyono tidak pernah memiliki masalah apapun dengan pemerintah.  Baru beberapa saat kepemimpinan Indonesia dipegang Presiden Joko Widodo, situs ini dipermasalahkan.

Tidak bisa dipungkiri, memang terdapat situs yang menggerakkan ajaran yang oleh pemerintah disebut ‘radikal’. Namun menggeneralisir situs Islam yang tidak terindikasi radikal adalah aksi berlebihan, bahkan membahayakan. Bisa jadi mengadu domba antar elemen masyarakat.

Pemerintah haruslah bersikap adil dan bijak. Prosedur pemblokiran harus dibuktikan di pengadilan terlebih dahulu.

Sepengetahuan saya, situs Islam yang tidak  terbukti menggerakkan radikalisme justru bermanfaat untuk bangsa Indonesia, bahkan banyak membantu pemerintah, utamanya terkait dengan Islam di Indonesia.

Karena selama ini mereka memberi perimbangan informasi. Media Islam mengajak kaum Muslim untuk menjadi warga negara yang taat kepada Tuhan, menjadi Muslim yang baik.

Harusnya itu menjadi hal baik bagi pemerintah dibanding pemerintah menghabiskan uang Negara untuk mengembalikan warga yang terpengaruh narkotika dan obat terlarang (Narkoba), karena aliran sesat dan masyarakat yang tersangkut dengan aksi kejahatan dan pornografi.

Belum lama ini Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa kembali menegaskan bahwa saat ini Indonesia sudah masuk darurat pornografi lantaran biaya untuk belanja pornografi sepanjang 2014 diperkirakan mencapai Rp 50 triliun.

Sementara untuk kasus narkotika dan obat terlarang (Narkoba), Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Anang Iskandar belum lama ini mengatakan, biayanya rehabilitasi pecandu Narkoba minimal Rp 2.1 juta per bulan perorang.

Padahal, ada sekitar 27 ribu pecandu narkotika yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, sementara tempat rehabilitasi yang dimiliki BNN jumlahnya terbatas dan hanya mampu menampung 2 ribu orang per tahunnya.

Berapa uang Negara harus dihabiskan pemerintah mengembalikan mereka menjadi normal?  Seharusnya ini menjadi perhatian pemerintah.

Media-media Islam yang konten dan isinya selama ini mengajak remaja, masyarakat menjauhkan dari hal-hal yang terlarang yang justru harus dirangkul pemerintah, bukan dihalang-halangi.

Umat Islam dan Pendiri Bangsa

Sebagaimana sila pertama kita, Negara Kesatuan Rebublik Indonesia (NKRI) dibangun oleh para pejuang Islam dengan cita-cita membangun bangsa yang berketuhanan. Kita harus membaca sejarah pendirian bangsa ini.

Ketika pertama kali dirancang oleh para pendiri bangsa ini (founding fathers), karakter negara yang diinginkan adalah sebuah ‘Negara berketuhanan, berkeadilan dan bermartabat’.  BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) – sebuah panitia kecil  yang bertugas menyiapkan asas-asas kenegaraan pada tanggal 22 Juni 1945, bersepakat atas klausul bersama bahwa “Negara berdasarkan Ketuhanan”.

Panitia yang beranggotakan sembilan orang; Soekarno, Mohammad Hatta, AA. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Achmad Subarjo, KH. Abdul Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin, berdebat sangat sengit dan melelahkan. Namun, akhirnya berhasil merumuskan klausul sangat penting dalam bentuk Pancasila dan UUD’45, sebagai dasar dalam menjalankan negara Indonesia.

Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, jelas menunukkan bahwa sila yang paling asas ini mengandung makna tauhid. Klausul negara berketuhanan atas dasar pemahaman tauhid ini tidak berlebihan. Sebab, kemerdekaan bangsa Indonesia dicapai berkat jasa besar para ulama, santri dan kaum Muslimin, berperang melawan penjajah.

Di Aceh, para ulama terlibat Perang Sabil tahun 1873-1904. Di Jawa Jimur, KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad untuk merebut kota Surabaya pada 23 Oktober tahun 1945.

Dalam tiap tahap-tahap perjuangan bangsa, selalu ada peran ulama. Sebelum memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno di Cianjur menemui dua ulama besar, yaitu KH. Abdul Mukti dari Muhammadiyah, dan KH. Hasyim Asy’ari dari NU untuk meminta masukan (Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah).

Jenderal Abdul Haris (AH) Nasution dalam sebuah pidato peringatan 18 Tahun Piagam Jakarta 22 Juni 1963 di Jakarta mengatakan, bahwa rumusan dasar negara muncul di antaranya karena inisiatif para alim ulama yang mengirimkan surat berisi usulan tentang bentuk dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi Indonesia merdeka. Surat yang dikirim dari berbagai alim ulama itu berjumlah 52 ribu surat yang terdaftar (Endang Saifuddin Anshari, Piagama Jakarta 22 Juni 1945, hal. 29-30).

Prof. Hazairin, Guru Besar Ilmu Hukum UI, berpendapat, “Bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ berarti pengakuan ‘Kekuasaan Allah’ atau ‘Kedaulatan Allah’ (Prof. Hazairin, Demokrasi Pancasila, hal. 31).

Pendapat tersebut juga pernah diputuskan oleh ulama NU dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo Jawa Timur tanggal 21 Desember 1983. Di antara keputusan Munas tersebut adalah, (1) Sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimaman dalam Islam.

Maka, KH. Wahid Hasyim pada saat pembahasan rancangan UUD 1945, pada pasal 2 ayat 4 agar Presiden adalah orang Indonesia asli yang Muslim. Kalimat yang diusulkan berbunyi : “Yang Menjadi Presiden dan wakil Presiden hanya orang Indonesia asli yang beragama Islam” (Endang Saifuddin Anshari, Piagama Jakarta 22 Juni 1945, hal. 33). Usulan kiai NU ini satu nafas dengan asas negara yang berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.

Artinya, sesunggunya para pendiri negara Indonesia bersepakat bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan kepada keimanan tauhid. Bukan negara netral-agama.

Tafsir Asli Pancasila

Dr Adian Husaini berpendapat, para perumus dasar negara bermaksud memasukkan konsep-konsep kunci Islam ke dalam Pancasila. Sehingga, menurutnya, penafsiran Pancasila yang paling tepat adalah berdasarkan tauhid Islam, bukan sebebasnya apalagi atas dasar tafsir sekuler.

Cukup menarik pendapat M. Natsir yang mengatakan; “Pancasila memang mengandung tujuan-tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukan berarti Islam”. Artinya, Pancasila tidak-lah mewakili seluruh ajaran Islam. Tetapi Pancasil, dapat sesuai dengan tujuan pendiri bangsa, sehingga dibingkai dengan tauhid.

Berdasarkan hal itu, ajaran tauhid Islam bisa diterapkan dalam bidang kenegaraan. Keinginginan agar pemimpin Indonesia sesuai dengan Islam, adalah sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa, legal dan sesuai undang-undang dasar.

Sudah sepatutnya, negara ini siap untuk tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassallam. Konsep ketauhidan ini merupakan konsep yang ideal bagi penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim.

Segala bentuk kesyirikan, kesesatan dan pengebirian terhadap ajaran agama layak diberi tindakan. Karena tidak sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa. UU. No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama, merupakan produk undang-undang yang semestinya ditegakkan dengan tegas oleh para negarawan. Karena UU tersebut merupakan amanah pendiri bangsa, agar Indonesia tetap bertauhid, bebas dari faham anti-agama.

Inilah cara para pendiri bangsa agar karakter bangsa tidak ditelan oleh imperialisme baru. Seperti ungkapan KH. Muhammad Isa Anshori;

“Pancasila harus hidup dengan teman-temannya sila yang lain, seribu satu sila yang tersebar dalam lembaran ajaran Islam. Bila Pancasila tidak dijaga dengan cara seperti itu, maka akan ditelan oleh imperialisme dan komunisme.”

Dengan itu, amanah besar yang harus diusung kembali oleh generasi kita sekarang adalah, menjadikan Indonesia lebih beradab. Kaum Muslimin harus didorong untuk melaksanakan ajaran agamanya dengan baik, agar mereka menjadi manusia yang jujur dalam keimanannya kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Taat dan tidak anti-agama.

Terkait dengan amanah bangsa ini, Adian Husiani, pernah mengusulkan agar Presiden mengeluarkan Kepres ‘Iman dan Takwa’ dalam pendidikan sebagai penjabaran tujuan pendidikan Nasional sebagaimana termaktub dalam Sisdiknas dan UU No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan tinggi.

Karena itu, bangsa Indonesia hendaknya mewaspadai upaya-upaya untuk membecah belah bangsa dan usaha menjauhkan warga negara dari berketuhanan.

Situs-situs dakwah Islam sudah sesuai dengan Pancasila dan UUD ’45 sehingga tidak perlu dicurigai. Pemblokiran tanpa alasan justru menimbulkan permusuhan elemen bangsa.

Adu domba kaum Muslim dengan pemerintah juga dengan masyarakat harus dihentikan. Semua harus kembali kepada tafsir Pancasila yang asli, dimana negara ini taat pada Tuhan, bukan anti-Tuhan dan anti-Islam.*

_____________
KHOLILI HASIB, penulis adalah pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur. Artikel ini telah dimuat sebelumnya di Hidayatullah.com

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Waspada Jebakan Pinjol dan Paylater Kalangan Anak Muda dengan Literasi Keuangan

MAKASSAR (Hidayatullah.or.id) -- Maraknya kasus jeratan pinjaman online (pinjol) dan paylater di kalangan anak muda terutama mahasiswa dan pelajar...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img