Ketauladanan dalam berinteraksi dengan sanak keluarga dicontohkan dengan sangat baik oleh Rasulullah ﷺ. Dalam sejarah kehidupan beliau ﷺ, hubungan baik beliau bukan saja berhenti pada istri dan anaknya, bahkan kepada sanak keluarganya pun juga sangat perhatian. Pada contoh berikut, akan diungkap betapa paiawainya beliau dalam berinteraksi dengan sanak keluarga.
Saat Abu Thalib kesusahan karena memiliki anak banyak dengan kemampuan finansial yang memprihatinkan, beliau dengan Hamzah berinisiatif membantunya. Waktu itu nabi Muhammad ﷺ membantu pamannya mengurusi salah satu anaknya. Dibawalah Ali bin Abi Thalib ke rumahnya untuk diasuh supaya meringankan beban beban Abu Thalib.
Menariknya, ketika ikut bersama Nabi ﷺ , Ali deperlakukan seperti anaknya sendiri. Di rumah itu Ali sejak kecil bisa melihat keteladanan Rasulullah dalam bergaul. Tidak mengherankan jika kemudian Ali sangat berkesan dan terpengaruh dengan akhlak Nabi ﷺ. Kelak, ia menjadi yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak. Ini adalah salah satu bentuk bagaimana kepedulian Nabi ﷺ kepada sanak familinya yang perlu diteladani.
Lebih dari itu, sampai pada menjelang kematian pun, beliau ﷺ berusaha dengan keras membantu pamannya agar pengorbanan yang selama ini dilakukan tidak sia-sia. Meski pada akhirnya Abu Thalib mati dalam keadaan kafir. Beliau pun sempat memintakan ampun, sampai pada akhirnya beliau ditegur Allah. Dialah yang memberi petunjuk, Muhammad ﷺ hanya bertugas sebagai penyampai.
Akibat dari kematian pamannya yang meninggal dalam kondisi musyrik pada tahun 10 kenabian, beliau ﷺ kesedihan luar biasa. Dalam Sirah Nabawiyah peristiwa itu biasa disebut dengan “Āmu al-Huzni” (Tahun Duka Cita) yang tiga bulan setelahnya disusul oleh isteri tercintanya: Khadijah binti Khuwailid.
Interaksi beliau ﷺ bukan saja kepada sanak keluarga dekat, di sisi lain beliau juga sangat peduli terhadap kerabat dan teman akrab istri. Setiap kali Rasulullah ﷺ menyembelih kambing, ia berkata: ‘Kirimkan sebagiannya kepada teman-teman Khadijah.’ (HR. Muslim). Padahal, Khadijah sudah meninggal dunia. Tapi, tetap saja Rasulullah ﷺ berbuat baik kepada kerabat dan teman akrabnya. Begitu pedulinya beliau kepada keluarga Khadijah, sampai-sampai ‘Aisyah pernah merasa cemburu dengannya.
Peristiwa menarik lain yang bisa diungkap di sini, selepas perang Badar, ada beberapa sanak keluarga nabi ﷺ (seperti: Abbas bin Abdil Muthalib, Abu `Āsh bin Rabi`), menjadi tawanan perang. Rasulullah ﷺ akhirnya bermusyawarah dengan Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar berpendapat lebih baik tawanan itu dibebaskan dengan tebusan, karena di antara mereka adalah masih saudara dan famili. Hal itu dilakukan dengan harapan Allah ﷻ memberi petunjuk mereka pada Islam. Umar berpendapat lain. Menurutnya, orang seperti mereka harus dihabis. Rasul ﷺ pun lebih condong pada pendapat Abu bakar (Maqrezi, Imtā`u al-Asmā`, 344). Ini menunjukkan, bagaimana kepedulian nabi kepada kerabatnya.
Demikian juga pasca Perang Hunain (8 H), Kabilah Hawāzin ada yang menjadi tawanan. Saat Nabi Muhammad ﷺ tahu kalau di antara mereka ada saudari sesusunya (Syaimā` binti Halimah As-Sa`diyah), yang dilakukan nabi adalah: memuliakan, melepaskan, diberikan ghanimah, dan kembali ke kampungnya dengan gembira (An-Nimri, Al-Durar fī Ikhtiṣāri al-Maghāzi wa al-Siyar, 230-231). Bayangkan! Saudara sesusu saja diperlakukan dengan sangat baik oleh Rasulullah ﷺ.
Peristiwa lain yang bisa dicatat ialah ketika nabi ﷺ hendak keluar Mekah (pasca Umrah Qadhā`, 6 H), beliau ﷺ dipanggil anak permpuan Hamzah bin Abdul Muthallib, “Paman, Paman.” (Terenyuhlah hati beliau). Berebutlah Ali, Ja`far dan Zaid bin Haritsah untuk mengasuhnya. Rasul ﷺ pun memutuskan agar ia diasuh oleh bibinya [saudara ibunya] (Abu Hasa al-Nadawi, al-Sirah al-Nabawiah, 433).
Semua itu adalah contoh kecil bagaimana perhatian nabi ﷺ kepada sanak familinya. Sebagai Rasulullah ﷺ –yang akhlaqnya digambarkan Aisyah seperti al-Qur`an—interaksi dengan sanak keluarga telah dilakukan dengan sangat baik oleh beliau. Semoga, umat Islam bisa meneladaninya.*Hidcom