Hidayatullah.com — Ketua Umum PP Hidayatullah Dr Abdul Mannan, MM, membuka secara resmi perkuliahan perdana (studium general) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Hidayatullah (STIEHID) Kota Depok, Jawa Barat. Kuliah perdana ini mengusung tema “From Campus To be An Entrepreneuer” digelar di Aula STIE Hidayatullah, Depok, Sabtu (5/9/2015).
Stadium general terbuka ini menghadirkan pembicara yakni Vice President Head of Area Syariah II Yaya RC Pujiharto dan Sekjen Muslim Information Technology Association (MIFTA) Asih Subagyo.
Ketua Umum PP Hidayatullah Dr Abdul Mannan, MM, dalam sambutannya saat membuka perkuliahan perdana tahun akademik 2015/2016 ini, mengatakan setiap orang dituntut untuk mandiri lebih-lebih seorang mahasiswa.
Ustadz Abdul Mannan berseloroh, cacing saja yang hidup di tanah bisa hidup, apalagi seorang mahasiswa yang memiliki otak untuk berfikir, mestinya bisa lebih survive lebih dari sekedar seekor binatang melata.
“Rasulullah Muhammad Shallallaahu Alaihi Wasallam sebelum menjadi Nabi bahkan telah ditempa untuk hidup mandiri. Nabi Muhammad melalui lima fase untuk menempa mental kewirausausahaannya,” kata beliau.
Fase pertama yang dilalui sosok Muhammad adalah masa keyatiman. Sifat anak yatim mendasar adalah manja atau bergantung pada orang lain. Tetapi Muhammad dengan keyatimannya, dia tidak manja. Justru pada fase ini Muhammad telah menjadi figur mandiri dengan bekerja keras sebagai pengembala.
“Saya bilang gila juga ini kita selalu impor sapi, nanti untuk Qurban juga begitu. Ini artinya bangsa Indonesia yatim mentalnya,” ungkapnya dengan nada berguyon.
Karenanya, menurut Ustadz Mannan, dengan cakupan wilayah Indonesia yang sangat luas, seharusnya bisa dipetakan mana wilayah di Indonesia yang cocok untuk peternakan seperti NTB, lalu dibuatlah peternakan luas di sana.
“Kalau Austalia bisa buat peternakan sapi dengan luas satu kampung, kita seharusnya bisa buat lebih dari itu,” ujarnya.
Beliau menjelaskan, yatim ada dua jenis. Yakni yaitm biologis dan yatim psikologis. Bangsa Indonesia saat ini, lanjutnya, masuk dalam kategori yatim psikologis karena ketergantungannya pada komoditi impor yang sebenarnya sangat mungkin dan mendukung untuk dihasilkan sendiri.
“Secara teritorial kita sudah merdeka, tapi secara mental belum merdeka,” imbuhnya.
Kata beliau, Rasulullah Muhammad adalah teladan manusia sukses sebagai wirausahawan berkarakter setelah melawati penempaan fase keyatiman, fase berdagang, fase berkhadijah, dan kemudian fase bergua Hira’.
Lebih jauh Ustadz Abdul Mannan mengingatkan bahwa perguruan tinggi Hidayatullah tidak semata berorientasi pada kuantitas mahasiswa, tetapi berfokus pada kualitas. Dia menegaskan, perkuliahan akan terus berlanjut kendati hanya ada segelintir mahasiswa berkualitas. Ketimbang banyak mahasiswa tapi bermental inferior.
“STIE Hidayatullah tidak prioritas pada mahasiswa yang kelihatannya cerdas dan pintar sekali tapi tidak beres mentalnya. Justru banyak yang keliahatan sepertinya buntu dan tidak mampu mengikuti perkuliahan tapi setelah lulus ternyata mampu bersaing dan kelihatan karyanya,” ujar beliau.
Ia juga menegaskan bahwa mahasiswa STIE Hidayatullah wajib melaksanakan shalat berjamaah lima waktu di masjid bahkan dianjurkan untuk bangun tahajjud setiap malam.
“Kalau ada mahasiswa yang tidak bangun tahajjud tiga kali berturut-turut, akan dikeluarkan,” imbuhnya bernada berguyon dengan tanpa bermaksud mengurangi penekanan pentingnya aturan tersebut.
Sementara itu, Vice President Head of Area Syariah II Yaya RC Pujiharto dalam pemaparannnya mendorong mahasiswa mendalami keilmuan dan praktis perbankan dan keuangan syariah.
Menurut Yaya, saat ini perbankan syariah membutuhkan sumber daya manusia yang tidak hanya memiliki skill dan pengetahuan namun juga memiliki kecakapan syariah. Apalagi menurut dia kebutuhan SDM perbankan terus mengalami kelonjakan setiap tahunnya seiring kecenderungan positifnya pertumbuhan sektor ini.
Yaya mengakui perguruan tinggi yang memiliki konsentrasi di ilmu ekonomi syariah belum cukup memenuhi kebutuhan pasar yang ada. Karenanya dia berharap STIE Hidayatullah dapat melahirkan tenaga-tenaga profesional di bidang keuangan syariah.
“Saya sangat appreciate. Sebab sedikit banyak saya juga banyak memonitor STIE Hidayatullah atau BMH secara keseluruhan. Dan, saya sangat kagum karena kalau saya perhatikan dan melihat program-programnya dan saya selalu dapat buletinnya segala macam, kesimpulan saya BMH adalah lembaga sosial yang sangat tangguh,” ujar Yaya.
Kata Yaya, sinergi dengan Laznas BMH yang memberi beasiswa sepenuhnya kepada mahasiswa STIE Hidayatullah adalah sinergi yang positif. Dia pun berharap program pengiriman dai dan tenaga profesional di bidang manajemen dan akuntansi lulusan STIE Hidayatullah dapat terus berkesinambungan.
“STIE Hidayatullah karena masih baru ke depan harus bisa lebih mengekspos bahwa kami adalah lembaga pendidikan yang berorietasi pada wiraswasta. Dengan begitu STIE Hidayatullah semakin eksponen dan secara spesifik STIE hidayatillah saya kira memang sangat khas,” pungkasnya. (ybh/hio)