BILA kita menelaah sejarah hidup generasi terdahulu, kita mendapati para ulama diantara mereka benar-benar menjadi pelita di tengah-tengah umat. Siapa pun yang melihat dan bergaul dengan mereka akan merasakan ketulusan yang tidak dibuat-buat, komitmen yang tak ternoda, dan kejujuran yang dapat diandalkan keasliannya.
Satu lagi, mereka sangat-amat tawadhu’ di atas segenap keluasan ilmu dan ketekunan ibadah yang diakui kawan maupun lawan.
Betapa sering mereka berhadapan dengan situasi-situasi yang menguji kemantapan akhlaknya, dan lulus. Salah seorang dari mereka memilih diam dan khusyu’ menyimak sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meski disampaikan anak bau kencur.
Atha’ bin Abi Rabah (tabi’in, w. 114 H) berkata, “Seorang anak muda meriwayatkan sebuah hadits kepadaku, maka aku pun mendengarkannya seakan-akan aku belum pernah mendengarnya, padahal aku telah mendengarnya sebelum ia dilahirkan.”
Diriwayatkan pula bahwa Ibnu Wahb (atba’ tabi’in, w. 197 H) berkata, “Sungguh aku mendengar sebuah hadits dari seseorang yang sebetulnya sudah aku dengar sebelum kedua orangtuanya menikah, namun aku diam memperhatikannya seolah-olah aku belum pernah mendengarnya.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah, II/170)
Karena ketawadhu’an pula mereka lebih banyak diam dan mendengarkan, bukan bicara kesana-kemari untuk menonjolkan diri.
Khalid bin Shafwan (w. 133 H) berkata, “Bila engkau melihat seorang ahli hadits menceritakan sebuah riwayat yang sudah kaudengar atau menceritakan suatu kisah yang sudah kauketahui, maka jangan mencampurinya dengan harapan agar orang-orang yang hadir tahu bahwa engkau pun sudah tahu, sebab yang seperti itu membuktikan ketidakcerdasanmu dan juga kekurangajaranmu.” (Al-Adab asy-Syar’iyyah, II/170)
Dengan kata lain, kegemaran untuk berkoar-koar seringkali membuktikan ketidakcerdasan semata. Banyak orang yang sangat bersemangat menginterupsi para ulama atau bertanya panjang lebar dalam forum-forum ilmiah, sekedar unjuk gigi dan bukan mencari ilmu. Sebab, meskipun pertanyaannya telah dijawab ia tidak akan mau menerimanya dan segera membantah dengan keras. Ini sekaligus menunjukkan tipisnya akhlak mulia dan tebalnya kekurangajaran pada diri mereka.
Di zaman kita, fenomena seperti ini sangat mudah ditemukan di status Facebook, video Youtube, akun Twitter, laman blog, ruang komentar di belakang artikel pada berbagai situs internet, dsb.
Cara generasi Salaf dalam memandang dirinya maupun orang lain memang sangat mengagumkan. Berkat kedalaman ilmunya, mereka sangat mengerti kesembronoan orang-orang di sekitar mereka dalam beramal.
Akan tetapi, di saat bersamaan mereka juga menyadari keadaan dirinya sendiri yang jauh lebih buruk. Mengapa demikian? Sebab, orang lain bertindak sembarangan karena awam dan belum mengerti, sehingga bisa diterima.
Sebaliknya, mereka adalah para ulama sehingga kesembronoannya pasti sulit dimaklumi. Inilah yang melahirkan sikap penuh kasih dan keinginan besar untuk membimbing kaum muslimin, tanpa merasa dirinya suci apalagi terbebas dari kesalahan.
Abu Darda’ berkata, “Engkau belum benar-benar faqih selama belum bisa melihat Al-Qur’an memiliki banyak sisi (makna). Engkau pun belum benar-benar faqih selama belum membenci bagaimana perilaku manusia tatkala berhadapan dengan Allah, kemudian engkau mengarahkan pandangan kepada dirimu sendiri, dan ternyata engkau lebih membenci perilakumu sendiri ketika berhadapan dengan Allah dibanding kebencianmu terhadap perilaku manusia.” (Riwayat Abdurrazzaq dan Abu Nu’aim al-Ashbahani).
Generasi Salaf lebih tertarik membenahi dirinya sendiri, bukan mengorek-korek aib sesama muslim apalagi mengobralnya. Diceritakan bahwa pada suatu musim haji al-Hafizh Abu Ishaq Ibnu Dizil (w. 281 H) didatangi dua orang yang bertanya tentang sebuah hadits.
Saat itu, az-Za’farani juga hadir dan berkata, “Wahai Abu Ishaq, mengapa Anda mau meriwayatkan hadits kepada orang Zindiq?” Ibnu Dizil balik bertanya, “Siapa yang Zindiq?” Az-Za’farani menjawab, “Orang ini! Sungguh Abu Hatim tidak mau meriwayatkan hadits sebelum beliau menguji (orang yang bertanya itu).”
Ibnu Dizil berkomentar, “Abu Hatim itu – menurut kami – adalah amirul mu’minin di bidang hadits, akan tetapi menguji (keyakinan orang lain) itu merupakan kebiasaan kaum Khawarij. Siapa pun yang hadir ke majelisku dan ia termasuk Ahlus Sunnah, maka ia akan mendengar sesuatu yang menyejukkan matanya. Namun siapa saja yang termasuk Ahlul Bid’ah, ia akan mendengar sesuatu yang memanaskan matanya.” (Siyaru A’lamin Nubala’, XIII/189)
Bandingkan dengan sebagian orang di zaman ini yang teramat gemar menelisik kesalahan-kesalahan orang lain dan mengumbar aib sesamanya di sembarang forum. Kata-katanya kasar, retorikanya arogan, dan motif-motifnya seringkali sulit dipahami akal sehat.
Mereka sangat mahir menelanjangi orang lain, akan tetapi buta terhadap kekurangannya sendiri. Akibatnya, aktivitas dakwah berubah menjadi pencemaran nama baik, dan kajian ilmiah pun berbelok menjadi arena mempergunjingkan keburukan saudara sendiri (ghibah).
Apa sebenarnya yang mereka harapkan? Larinya umat dari dakwah dan semakin terbenam dalam kesesatannya? Mengapa untuk meyakinkan kebaikan diri sendiri harus ditempuh dengan mengobral keburukan orang lain? Akhlak siapakah yang mereka tiru? Metode dakwah siapakah yang mereka teladani?
Sungguh, Allah telah merangkum sifat dan akhlak Rasulullah ketika menghadapi umatnya, baik yang mukmin maupun kafir, dalam serangkaian sanjungan yang menakjubkan:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung.” (QS. At-Taubah: 128-129)
Tiga belas tahun beliau membimbing dengan penuh kasih, namun malah diusir dari Makkah dan terus-menerus diperangi. Tapi, apa yang Allah minta dari beliau? Ternyata, dalam surah ini Allah mengajarinya agar mengatakan: “cukuplah Allah bagiku”, bukannya mencaci-maki dan mencemarkan kehormatan lawan-lawannya. Untuk diketahui, surah at-Taubah termasuk yang paling akhir diturunkan kepada beliau.
Dakwah ini memerlukan lebih banyak ilmu, kearifan, kesabaran, dan ketawadhu’an; bukan hanya adu argumen dan paparan dalil. Bagaimana pun, debat akan disambut dengan debat, sedangkan kesantunan akan dihargai sesuai kadarnya.
Siapa saja yang mengandalkan debat sebagai jalan dakwahnya, akan disesatkan dalam labirin tak berujung. Imam Malik bin Anas pernah menertawakan orang-orang yang gemar berdebat dalam masalah akidah;
Beliau berkata, “Menurutmu, jika datang seseorang yang lebih pintar mendebat dibanding dirinya, bukankah setiap hari ia akan meninggalkan agamanya untuk mengikuti agama yang baru?” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, III/175). Ya, demikianlah faktanya. Wallahu a’lam.[]
*) Ust. M. Alimin Mukhtar, penulis adalah pengasuh Yayasan Pendidikan Integral (YPI) Ar Rohmah Pondok Pesantren Hidayatullah Batu, Malang, Jawa Timur