AdvertisementAdvertisement

Menjaga Generasi Perempuan Kita Agar Tidak Menjadi Fitnah

Content Partner

SEPERTINYA tidak ada tema yang lebih kontroversial untuk diperbincangkan selain “wanita”. Para Nabi, ulama’, penyair, filosof, politikus, dan kalangan awam pun membahasnya.

Bahkan, salah satu surah Al-Qur’an dinamai An-Nisa’ (para wanita), sementara tidak ada yang dinamai Ar-Rijal (para lelaki). Banyak peristiwa besar juga bermula dari atau melibatkan mereka. Sejak kejatuhan Nabi Adam dari surga, perseteruan antara Qabil dan Habil, dan terus berlanjut hingga kini dalam aneka variasinya.

Namun di saat bersamaan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa hanya ada dua bagian dari dunia ini yang mana beliau telah dibuat sangat menyukainya, yaitu wanita dan wewangian.

Beliau bersabda, “Aku telah dijadikan (oleh Allah) menyukai bagian dari dunia ini, yaitu wanita dan wewangian. Dan penyejuk mataku telah dijadikan (oleh Allah) di dalam shalat.” (Riwayat an-Nasa’i, dari Anas. Hadits hasan-shahih).

Dalam hadits lain, beliau ternyata sangat menghargai anak perempuan. Siapa saja yang merawat anak-anak perempuannya dengan baik dijanjikan pahala sangat besar, sebagaimana sabdanya:

“Barangsiapa yang membesarkan dan mendidik dua orang anak perempuan sampai mereka baligh, maka ia akan datang pada Hari Kiamat nanti sedangkan aku dan dia (seperti ini).” Beliau merapatkan jari-jemarinya. (Riwayat Muslim, dari Anas).

Akan tetapi, di lain kesempatan, beliau justru mewanti-wanti umatnya agar berhati-hati terhadap para wanita, sebagaimana dinyatakan dalam sabdanya: “Aku tidak meninggalkan setelahku suatu fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki selain para wanita.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Usamah bin Zaid).

Dengan nada lebih keras, beliau pernah memperingatkan umatnya perihal dahsyatnya fitnah wanita itu, yang bahkan telah menghancurkan umat terdahulu:

“Sungguh dunia ini ‘manis’ lagi ‘hijau’, dan Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian beramal. Maka, berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan para wanita, sebab awal mula fitnah di kalangan Bani Israil adalah pada wanita.” (Riwayat Muslim, dari Abu Sa’id).

Dalam kesempatan shalat Idul Fitri atau Idul Adha, Rasulullah pun pernah berpesan kepada kaum wanita agar banyak-banyak bersedekah, sebab beliau melihat mayoritas penghuni neraka adalah wanita. (Riwayat Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudriy, dan Muslim dari Ibnu Umar).

Di sini, timbul aneka pertanyaan. Mengapa Rasulullah mengaku sangat menyukai wanita dan menghormati anak-anak perempuan, namun di saat bersamaan memperingatkan kita dari mereka? Jika orangtua yang merawat dua anak perempuan sampai dewasa dijanjikan masuk surga, mengapa para wanita justru menjadi mayoritas penghuni neraka?

Mu’adz bin Jabal, salah seorang Sahabat, memiliki penjelasan menarik untuk masalah ini. Beliau berkata, “Sungguh kalian telah diuji dengan fitnah kesulitan, lalu kalian bisa bersabar. Kelak kalian akan diuji dengan fitnah kesenangan. Sungguh yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah fitnah para wanita, yakni ketika mereka telah mulai mengenakan gelang-gelang emas dan memakai kain mantel (pakaian luar) dari negeri Syam, sehingga mereka membuat (para lelaki) yang kaya kepayahan dan yang fakir memaksakan diri untuk (mencari) apa yang tidak mereka miliki.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah).

Jadi, di situlah letak sumbernya. Ketika para wanita mulai menggemari kemewahan dan kemudian menekan para ayah, saudara atau suami untuk memenuhinya, maka fitnah (bencana) pasti segera berkobar. Pria kaya pun sampai kelelahan untuk memuaskan keinginan mereka, apalagi yang miskin. Bila kaum lelaki menolak atau gagal memenuhinya, mereka pun menuntut untuk boleh mengejarnya sendiri, persis yang terjadi di negara-negara Barat.

Kini, kita mengerti sepenuhnya bahwa isu-isu feminisme, kesetaraaan gender, atau emansipasi wanita yang digembar-gemborkan oleh Barat pada kenyataannya hanya dikompori oleh kecemburuan duniawi. Di baliknya bercokol hasrat menggelora untuk mendapatkan kesenangan, kemewahan, kekuasaan, dan sejenisnya. Tiba-tiba, kita tersadar bahwa semua itu bukan demi iman dan kehidupan akhirat, tetapi semata-mata atas nama hawa nafsu dan kerakusan duniawi.

Maka, wanita-wanita yang sangat dicintai Rasulullah pun bukan dari golongan itu. Karakter mereka secara nyata tercermin dalam diri Khadijah, Fathimah, ‘Aisyah, Hafshah, Shafiyyah, Ummu Salamah, dan lain-lainnya. Mereka benar-benar layak dihormati, dicintai, dan “diperjuangkan”. Bukan hanya karena kecantikannya, namun ditopang pula oleh kualitas dirinya.

Mereka tidak silau oleh harta benda duniawi, sebaliknya menjadi legenda dalam sedekah dan pengorbanan. Mereka tidak sibuk bersolek untuk dipamerkan dalam aneka kontes, digelar di jalanan, atau sekedar dipajang di Facebook, namun menghabiskan detik-detiknya dalam pengabdian kepada Allah, keluarga, dan masyarakatnya.

Mereka tidak membuat suami dan ayahnya capek memenuhi tuntutan duniawinya yang selangit, namun justru meringankan beban dan menjadi tambahan kekuatan di tengah aneka cobaan. Ibadah, ilmu, jihad, mujahadah, akhlak, dan seluruh kehadiran mereka merupakan berkah bagi keluarga dan masyarakatnya.

Oleh karenanya pula, kita memaklumi jika – menurut Rasulullah – wanita terbaik untuk dinikahi adalah yang paling ringan permintaan maharnya. Memang kaum lelaki tidak boleh sembrono, namun mahar adalah hak kaum wanita untuk menentukannya. Maka bagaimana, berapa, atau mengapa mereka memintanya dalam kadar dan bentuk tertentu akan menunjukkan siapa mereka sesungguhnya.

Beliau bersabda, “Wanita yang paling besar berkahnya adalah yang paling ringan maharnya.” (Riwayat al-Hakim, dari ‘Aisyah. Hadits shahih ‘ala syarthi muslim).

Bila kaum wanita berperilaku seperti wanita-wanita yang dicintai Rasulullah dalam kehidupannya, maka merekalah sebaik-baik kesenangan duniawi, tidak lagi menjadi fitnah dan bencana.

“Dunia adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan duniawi adalah wanita yang shalihah.” (Riwayat Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash).

Di atas landasan inilah para ulama menekankan agar anak-anak dibiasakan hidup sederhana sejak kecil, agar kelak tidak menjadi fitnah (bencana) bagi siapa saja di sekelilingnya.

Imam Al-Ghazali berkata dalam Ihya’ Ulumiddin (VIII/1468-1472):

“Bila seorang ayah selalu menjaga keluarganya dari api dunia, maka menjaganya dari api akhirat jelas lebih diprioritaskan. Cara menjaganya adalah dengan mendidik, membiasakan, dan mengajarkan kepadanya akhlak-akhlak yang baik serta menjaganya dari qurana’ as-suu’ (teman karib yang buruk). Jangan membiasakannya dengan kemewahan. Jangan pula membuatnya gemar bersolek dan bersenang-senang, yang akan membuatnya menghabiskan usianya untuk mengejarnya bila kelak telah dewasa, hingga akhirnya binasa untuk selama-lamanya …… Hendaknya seorang ayah membiasakan anaknya dengan roti kering sekali waktu, sehingga anak tidak serta-merta menilai bahwa lauk-pauk itu harus selalu ada …… Jagalah anak dari anak-anak lain yang terbiasa dengan kesenangan dan kemewahan, serta mengenakan pakaian-pakaian yang megah. Jaga pula anak dari bergaul rapat dengan siapa saja yang akan menceritakan kepadanya hal-hal yang mendorongnya menginginkan pakaian seperti itu. Sebab, bila seorang anak dibiarkan begitu saja pada awal-awal masa pertumbuhannya, pada umumnya ia akan menjadi manusia berakhlak rendah, pendusta, banyak iri-dengki, tukang menggosip, sering merengek, berlebihan (“lebay”), banyak tertawa, dibuat-buat (tindak-tanduknya), dan suka berkelakar. Anak harus dilindungi dari semua itu dengan pendidikan yang baik.

Wallahu a’lam.

*) Ust. M. Alimin Mukhtar, penulis adalah pengasuh Yayasan Pendidikan Integral (YPI) Ar Rohmah Pondok Pesantren Hidayatullah Batu, Malang, Jawa Timur

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Rakerwil V Hidayatullah Jatim Ditutup, Ketua DPW Apresiasi Pelayanan Tuan Rumah

Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) V Hidayatullah Jawa Timur resmi ditutup pada hari Ahad, 19 Januari 2024, di Situbondo. Dalam...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img