DALAM perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia, banyak institusi yang menggunakan nama ‘Islam’ untuk mempertegas identitas dan misinya. Namun, menariknya, Hidayatullah sebagai organisasi masyarakat (ormas) yang didirikan pada 1973 memilih pendekatan berbeda dengan menekankan istilah ‘integral’ pada konsep pendidikannya.
Karena itu, di lingkungan pendidikan Hidayatullah, mulai tingkat PAUD, Dasar dan Menengah, penamaan sekolahnya hanya seperti ini: “SD Integral Hidayatullah Depok”, atau “SMA/MA Integral Hidayatullah Palu”, tanpa ada kata kata “Islam”.
Pilihan ini bukanlah tanpa alasan, selain karena efisiensi penggunaan kata, hal ini juga sebagai cerminan visi besar yang ingin dibawa oleh Hidayatullah bahwa Islam adalah sempurna yang mencakup semua urusan (syumuliyyah) yang dalam konteks pendidikan ia menyeluruh yang menggabungkan ilmu agama dan ilmu umum dalam satu kesatuan yang harmonis.
Pendidikan Integral Berbasis Tauhid yang menjadi motto Hidayatullah adalah filosofi dasar yang ingin menunjukkan bahwa pendidikan Islam tidak hanya terbatas pada ritual keagamaan semata, tetapi mencakup semua aspek kehidupan, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Di sini, istilah ‘integral’ hadir untuk menegaskan bahwa Islam hadir secara menyeluruh dan tidak terpisah-pisah dalam aspek kehidupan umat manusia.
Integral itu Islam
Pada pandangan pertama, penggunaan istilah ‘Islam’ mungkin tampak lebih relevan bagi sebuah institusi yang berorientasi pada pendidikan berbasis keagamaan. Namun, menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga alasan penting mengapa Hidayatullah memilih menggunakan kata ‘integral’ sebagai ciri khas pendidikannya.
Pertama, menghindari dikotomi ilmu ilmu Islam dan ilmu umum. Salah satu masalah mendasar dalam dunia pendidikan, khususnya di kalangan umat Islam, adalah dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Tak jarang yang memisahkan keduanya seolah-olah keduanya tidak berkaitan. Seolah pendidikan agama hanya dipelajari di ruang-ruang tertentu seperti pesantren, sementara ilmu umum dikhususkan di sekolah-sekolah formal.
Hidayatullah melalui konsep pendidikan integralnya berupaya untuk meruntuhkan dikotomi ini, dan menegaskan bahwa ilmu, baik agama maupun umum, adalah satu kesatuan yang saling mendukung dan memperkuat. Dalam pandangan ini, tidak ada ilmu yang netral dari nilai-nilai tauhid. Segala ilmu yang dipelajari pada dasarnya adalah sarana untuk mengenal Allah dan menjalankan amanah-Nya di bumi.
Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190)
Ayat ini menjelaskan bagaimana ilmu pengetahuan tentang alam semesta (ilmu umum) sebenarnya adalah sarana untuk mengenal Allah, sehingga tidak ada batasan tegas antara ilmu umum dan ilmu agama.
Kedua, Islam yang holistik dan tidak terpisah. Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia dan akhirat saling berkaitan. Konsep tauhid yang menjadi landasan Hidayatullah menegaskan bahwa keesaan Allah tidak hanya berlaku dalam konteks ibadah ritual, tetapi juga dalam setiap aspek kehidupan.
Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mengajarkan manusia untuk menjalani kehidupannya sesuai dengan prinsip-prinsip tauhid, baik dalam konteks sosial, politik, ekonomi, hingga spiritual. Penggunaan istilah ‘integral’ mencerminkan bahwa Islam hadir sebagai sebuah sistem yang menyeluruh, yang membimbing setiap aspek kehidupan manusia dari lahir hingga mati, dari urusan dunia hingga akhirat.
Rasulullah Muhammad SAW bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (HR. Ahmad)
Hadis ini menegaskan bahwa seorang Muslim harus berkontribusi positif di segala bidang kehidupan, tidak hanya dalam ibadah ritual, tetapi juga dalam ilmu, teknologi, sosial, dan lainnya. Konsep pendidikan integral yang diusung Hidayatullah berupaya menghasilkan individu yang mampu mengamalkan ajaran Islam di semua aspek kehidupan, menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Ketiga, mewujudkan pendidikan tauhid yang penyeluruh. Pendidikan Integral Berbasis Tauhid yang menjadi inti dari filosofi pendidikan Hidayatullah berfokus pada pemahaman tauhid yang tidak hanya diajarkan dalam bentuk teori, tetapi diimplementasikan dalam semua tindakan dan aktivitas sehari-hari.
Pendidikan tauhid ini melibatkan bukan hanya pengajaran ilmu agama seperti tafsir, fiqh, atau akhlak, tetapi juga ilmu-ilmu duniawi seperti sains, matematika, dan teknologi, yang semua dipahami dalam kerangka keesaan Allah.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162).
Ayat ini menjelaskan bahwa seluruh aspek kehidupan seorang Muslim, termasuk pendidikan dan pencarian ilmu, harus diorientasikan kepada Allah. Tidak ada pemisahan antara ilmu yang bersifat ‘agama’ dan ‘umum’, karena keduanya pada dasarnya adalah bagian dari pengabdian kepada Allah. Inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah epistemologi Islam.
Islam sebagai Sistem
Salah satu alasan utama mengapa Hidayatullah memilih istilah ‘integral’ adalah untuk menegaskan bahwa Islam tidak hanya hadir sebagai agama ritual, tetapi juga sebagai panduan untuk menjalani kehidupan yang sukses di dunia dan di akhirat. Dalam pandangan Islam, dunia bukanlah tempat yang harus ditinggalkan demi meraih akhirat, tetapi keduanya harus berjalan seiring.
Seorang Muslim tidak boleh hanya menjadi ahli ibadah yang mengabaikan urusan dunia, atau sebaliknya, menjadi ahli dunia yang melupakan akhirat. Pendidikan integral yang diusung Hidayatullah berupaya menghasilkan individu yang seimbang, yang mampu sukses di dunia tanpa melupakan tanggung jawabnya kepada Allah di akhirat.
Ini selaras dengan ajaran Islam yang menekankan keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok.” (HR. Ibnu Asakir).
Hadis ini mengajarkan bahwa seorang Muslim harus serius dalam mengurus urusan duniawi, tetapi pada saat yang sama harus mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Pendidikan integral yang ditekankan oleh Hidayatullah adalah upaya untuk mewujudkan keseimbangan ini dalam sistem pendidikan.
Konsep pendidikan integral ini berupaya tidak hanya memperkuat keimanan siswa, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan zaman modern yang kompleks. Pendidikan integral yang diterapkan oleh Hidayatullah melibatkan pendekatan multidimensi, yang mencakup pendidikan intelektual, emosional, fisik, dan spiritual. Semua aspek ini dirangkum dalam satu kesatuan utuh yang berlandaskan tauhid.
Menyeluruh
Pendidikan yang diusung oleh Hidayatullah dengan nama ‘integral’ adalah cerminan dari pemahaman bahwa Islam bukanlah agama yang hanya mengatur aspek ibadah ritual, tetapi juga kehidupan sehari-hari dalam segala bidang.
Dalam pada itu, penggunaan istilah ‘integral’ memiliki makna filosofis yang mendalam untuk menunjukkan bahwa Islam hadir sebagai panduan menyeluruh, yang tidak hanya membimbing manusia dalam urusan duniawi tetapi juga mempersiapkan mereka untuk kehidupan di akhirat.
Pendidikan Integral Berbasis Tauhid, dengan demikian, adalah upaya Hidayatullah untuk melahirkan generasi yang mampu memahami dan mengamalkan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Pandangan ini didasarkan pada ajaran tauhid yang menjadi fondasi agama Islam, di mana seluruh kehidupan manusia, termasuk pendidikan, adalah bagian dari pengabdian kepada Allah.[]
*) Adam Sukiman, penulis adalah intern researcher di Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect), Ketua Pengurus Wilayah Pemuda Hidayatullah Daerah Khusus Jakarta, kini guru ngaji di Rumah Qur’an Jayakarta, Poltangan, Jakarta.