ATAS gagasan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdul Wahab Chasbullah yang merespon dinamika politik yang muram pada masa itu, usai shalat Idul Fitri pada 1948, Bung Karno mengundang silaturrahim sejumlah tokoh politik. Perjumpaan itu kemudian yang populer hingga kini dinamai halal bihalal.
Silaturrahim pasca Ramadhan khas Indonesia halalbihalal itu bisa dimaknai sebagai perayaan umat Islam atas suksesnya meraih predikat yang disiapkan oleh madrasah Ramadhan yaitu insan bertakwa dan tentu saja berharap bagaimana kualitas manusia takwa tetap menjadi amalan harian pribadi muslim.
Sosok insan yang bertakwa telah diterangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana tertuang dalam ayat berikut:
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ. وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا۟ فَٰحِشَةً أَوْ ظَلَمُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا۟ ٱللَّهَ فَٱسْتَغْفَرُوا۟ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلُوا۟ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”
Jadi, ada lima ciri orang bertakwa yang digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana dalam firman-Nya pada Al Qur’an surah Ali ‘Imran ayat 134-135 di atas, yaitu:
Pertama: Orang yang selalu menafkahkan hartanya baik dalam keadaan berkecukupan maupun dalam keadaan sempit/ miskin
Ciri ini menegaskan orang bertakwa selalu mengeluarkan hartanya di jalan Allah meski dalam keadaan miskin atau berkecukupan. Mereka berinfak sesuai dengan kesanggupannya.
Menafkahkan harta itu tidak diharuskan dalam jumlah yang ditentukan sehingga ada kesempatan bagi si miskin untuk memberi nafkah.
Bersedekah boleh saja dengan barang atau uang yang sedikit nilainya, karena itulah apa yang dapat diberikan tetap akan memperoleh pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mukminin bahwa dia bersedekah dengan sebiji anggur, dan di antara sahabat-sahabat Nabi ada yang bersedekah dengan sebiji bawang. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Jagalah diri kalian dari api neraka, meski hanya dengan bersedekah sepotong kurma” (Hadits Shahih, Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat Shahiihul jaami’ no. 114)
Bagi orang kaya dan berkelapangan tentulah sedekah dan dermanya harus disesuaikan dengan kesanggupan.
Sungguh amat janggal bahkan memalukan bila seorang yang berlimpah-limpah kekayaannya hanya memberikan derma dan sedekah sama banyaknya dengan pemberian orang miskin. Ini menunjukkan bahwa kesadaran bernafkah belum tertanam di dalam hatinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfiman:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan” (QS. Ath-Thalaq: 7)
Sifat kikir yang tertanam dalam hati manusia hendaklah diberantas dengan segala macam cara dan usaha, karena sifat ini adalah musuh masyarakat nomor satu. Tak ada satu umat pun yang dapat maju dan hidup berbahagia kalau sifat kikir ini merajalela pada umat itu.
Sifat kikir bertentangan dengan perikemanusiaan. Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menafkahkan dan menjelaskan bahwa harta yang ditunaikan zakatnya dan didermakan sebagiannya, tidak akan berkurang bahkan akan bertambah.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَمْحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَيُرْبِى ٱلصَّدَقَٰتِ
AIlah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. (QS. Al-Baqarah: 276)
Imam Gazali menjelaskan bahwa memerangi suatu sifat yang buruk haruslah dengan membiasakan diri melawan sifat itu.
Jadi, kalau orang akan memberantas sifat kikir dalam dirinya hendaklah dia membiasakan berderma dan memberi pertolongan kepada orang lain. Dengan membiasakan diri akan hilanglah sifat kikirnya dengan berangsur-angsur.
Kedua: Orang yang menahan amarahnya
Biasanya orang yang memperturutkan rasa amarahnya tidak dapat mengendalikan akal pikirannya dan ia akan melakukan tindakan tindakan kejam dan jahat.
Sehingga, apabila dia sadar telah melakukan tindakan melampaui batas pasti menyesali tindakan yang dilakukannya itu dan dia akan merasa heran mengapa ia bertindak sejauh itu.
Oleh karenanya, bila seseorang dalam keadaan marah hendaklah ia berusaha sekuat tenaga menahan rasa amarahnya lebih dahulu.
Apabila ia telah menguasai dirinya kembali dan amarahnya sudah mulai reda, barulah ia melakukan tindakan yang adil sebagai balasan atas perlakuan orang terhadap dirinya.
Apabila seseorang telah melatih diri seperti itu maka dia tidak akan melakukan tindakan tindakan yang melampaui batas, bahkan dia akan menganggap bahwa perlakuan yang tidak adil terhadap dirinya itu mungkin karena khilaf dan tidak disengaja dan ia akan memaafkannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa menahan amarah itu suatu jalan ke arah takwa. Orang yang benar-benar bertakwa pasti akan dapat menguasai dirinya pada waktu sedang marah.
Siti Aisyah pernah menjadi marah karena tindakan pembantunya, tetapi beliau dapat menguasai diri, karena sifat takwa yang ada padanya. Beliau berkata, “Alangkah baiknya sifat takwa itu, ia bisa menjadi obat bagi segala kemarahan.”
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun pernah bersabda dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, bahwa:
ليسَ الشَّدِيدُ بالصُّرَعَةِ، إنَّما الشَّدِيدُ الذي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ
“Orang yang kuat itu bukanlah yang dapat membanting lawannya tetapi orang yang benar-benar kuat ialah orang yang dapat menahan amarahnya”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا مَا غَضِبُوا۟ هُمْ يَغْفِرُونَ
“.. Dan apabila mereka marah segera memberi maaf” (QS. Asy-Syura: 37)
Ketiga: Orang yang memaafkan kesalahan orang lain
Memaafkan kesalahan orang lain sedang kita sanggup membalasnya dengan balasan yang setimpal, adalah suatu sifat yang baik yang harus dimiliki oleh setiap muslim.
Mungkin hal ini sulit dipraktekkan karena sudah menjadi kebiasaan bagi manusia membalas kejahatan dengan kejahatan.
Tetapi, bagi manusia yang sudah tinggi akhlak dan kuat imannya serta telah dipenuhi jiwanya dengan ketakwaan, maka memaafkan kesalahan itu mudah saja baginya.
Mungkin membalas kejahatan dengan kejahatan masih dalam rangka keadilan tetapi harus disadari bahwa membalas kejahatan dengan kejahatan pula tidak dapat membasmi atau melenyapkan kejahatan itu. Mungkin dengan adanya balas membalas itu kejahatan akan meluas dan berkembang.
Bila kejahatan dibalas dengan maaf dan sesudah itu diiringi dengan perbuatan yang baik, maka yang melakukan kejahatan itu akan sadar bahwa dia telah melakukan perbuatan yang sangat buruk dan tidak adil terhadap orang yang bersih hatinya dan suka berbuat baik. Dengan demikian dia tidak akan melakukannya lagi dan tertutuplah pintu kejahatan.
Keempat: Orang yang berbuat baik
Berbuat baik termasuk sifat orang yang bertakwa. Maka, disamping memaafkan kesalahan orang lain, hendaklah memaafkan itu diiringi dengan berbuat baik kepada orang yang melakukan kesalahan.
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, ada seorang jariah (budak perempuan) milik Ali bin Husain menolong tuannya menuangkan air dari kendi untuk mengambil wudhu. Kemudian kendi itu jatuh dari tangannya dan pecah berserakan. Lalu Ali bin Husain menatap mukanya seakan-akan dia marah. Budak itu berkata, “Allah berfirman:
وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ
.. Dan orang-orang yang menahan amarahnya … (Ali ‘Imran [3:134]).”
Ali bin Husain menjawab, “Aku telah menahan amarah itu.” Kemudian budak itu berkata pula, “Allah berfirman:
وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ
.. Dan memaafkan (kesalahan) orang lain… (Ali ‘Imran [3:134]).”
Dijawab oleh Ali bin Husain, “Aku telah memaafkanmu.” Akhirnya budak, itu berkata lagi, “Allah berfirman:
وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
.. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. (Ali ‘Ilmran [3:134]).”
Ali bin Husain menjawab, “Pergilah kamu aku telah memerdekakanmu,” demi mencapai keridaan AIlah.
Demikianlah tindakan salah seorang cucu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap kesalahan seorang budak karena memang dia orang yang mukmin yang bertakwa.
Tidak saja dia memaafkan kesalahan budaknya bahkan pemberian maaf itu diiringinya dengan berbuat baik kepadanya dengan memerdekakannya.
Kelima: Orang yang mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri kemudian mereka segera meminta ampun kepada Allah dan tidak mengulangi lagi perbuatan itu
Para mufasir membedakan antara perbuatan keji (fahisyah) dengan menganiaya diri sendiri (dzhulm). Mereka mengatakan, perbuatan keji ialah perbuatan yang bahayanya tidak saja menimpa orang yang berbuat dosa tetapi juga menimpa orang lain dan masyarakat.
Menganiaya diri sendiri ialah berbuat dosa yang bahayanya hanya dirasakan oleh orang yang mengerjakan saja. Perbuatan keji seperti berzina, berjudi, memfitnah dan sebagainya. Perbuatan menganiaya diri sendiri seperti memakan makanan yang haram, memboroskan harta benda, menyia-nyiakannya dan sebagainya.
Mungkin seorang muslim telanjur mengerjakan dosa besar karena kurang kuat imannya, karena godaan setan atau karena sebab sebab lain, tetapi ia segera insaf dan menyesal atas perbuatannya kemudian ia memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertobat dengan sebenar-benar tobat.
Serta, ia juga berjanji kepada diri sendiri tidak akan mengerjakannya lagi. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menerima tobatnya dan mengampuni dosanya karena Allah adalah Maha Penerima tobat dan Maha Pengampun.
Bila seseorang berbuat dosa meskipun yang diperbuatnya itu bukan dosa besar tetapi mengerjakan terus menerus tanpa ada kesadaran hendak menghentikannya, tak ada pula penyesalan serta keinginan hendak bertobat kepada Allah, maka dosanya itu menjadi dosa besar. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
ولاَ كَبِيْرَةَ مَعَ الاِسْتِغْفَارِ وَ لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ الإِصْرَارِ
“Tidak ada dosa besar jika dihapus dengan istighfar (meminta ampun pada Allah) dan tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus” (Riwayat ad-Dailami dan dari Ibnu Abbas)
Meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan sekadar mengucapkan kalimat “Aku memohon ampunan kepada Allah”, tetapi harus disertai dengan penyesalan serta janji kepada diri sendiri tidak akan mengerjakan dosa itu lagi. Inilah yang dinamakan taubat nasuha, taubat yang diterima oleh AIlah.
Pahala mereka yang mempunyai sifat-sifat seperti itu, demikian tafsir Prof. Dr. AG. K.H. Al-Habib Muhammad Quraish Shihab, Lc., M.A, atas QS.3: 136, adalah ampunan yang besar dari Tuhan dan surga-surga yang dialiri bermacam-macam sungai di antara pohon-pohonnya. Di sana mereka akan hidup kekal selamanya. Itulah sebaik-baiknya pahala bagi orang-orang yang mengerjakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Berhalalbihalal menjadi momentum untuk mengingatkan keutaman nilai nilai takwa ini. Dan, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kekuatan pada kita untuk istiqamah menetapi nilai takwa yang telah kita raih pada bulan Ramadhan yang baru saja berlalu.[]
*) Ust Nursyamsa Hadis, penulis adalah da’i Hidayatullah