“Sebuah komunitas, lembaga, jama’ah atau organisasi masa sekalipun, akan tidak dianggap ada jika tidak menyuarakan gagasan-gagasan.”
Ungkapan di atas disampaikan oleh Ustadz Suharsono, penulis buku Membangun Peradaban Islam kala menerima kunjungan PP Pemuda Hidayatullah di kediamannya Rabu (30/9) di kediamannya.
Beberapa jam sebelum itu, Prof Din Syamsuddin dalam webbinar menyambut Munas Hidayatullah V menyatakan bahwa Pemuda Hidayatullah harus bangkit dan bersuara memberikan pandangan terhadap dinamika politik di Tanah Air.
Sahabat saya, Bang Ainuddin, menjadikan satu statement Ketua Majelis Pertimbangan MUI dalam bentuk meme berbunyi, “Mas (Imam) Nawawi, Dinda, Anda harus bangkit sebagai Pemuda Hidayatullah.”
Dua ungkapan sosok penuh karya di atas cukup menjadi sebuah injeksi bagi kaum muda untuk segera berbenah dan melakukan terobosan guna mengambil tanggungjawab moral di negeri ini, di antaranya dengan lantang bersuara.
Akan tetapi, hal ini bukanlah perkara mudah. Terlebih kala anak muda hanya dipandang sebagai entitas yang “harus” mengikuti alur yang telah ada, suaranya dinilai receh, dan keberadaannya pun terkesan hanya diada-adakan dalam bentuk formal. Tunduk pada keadaan tanpa ada ruang diberikan untuk menjelaskan aspirasi dan gagasannya. Dalam skala yang lebih luas, kini anak-anak muda telah banyak dininabobokan oleh kecanggihan handphone, sehingga memandang bersuara cukup melalui media sosial.
Dalam sejarah Islam, kita patut belajar pada Sayyidina Umar ra yang memberikan kesempatan kepada khalayak, siapa yang akan menegurnya bila ia melakukan kesalahan secara sengaja, terstruktur dan sistematis. Seorang pemuda berdiri dan berkata, “Saya yang akan meluruskannya dengan ini (sembari mengangkat pedang).” Umar tersenyum, tenang, dan bahagia, serta plong.
Jadi, sosok anak muda, terutama keberanian dan suaranya sangat dihargai oleh pemimpin yang mengerti masa depan. Akan tetapi, suara muda akan dipandang semacam gangguan bagi mereka yang tak memahami bagaimana menjadikan pemuda benar-benar siap bertarung untuk masa depan umat.
Dengan demikian, kaum muda wajib memiliki gagasan untuk selanjutnya bersuara. Dan, untuk memiliki gagasan, kaum muda wajib banyak membaca, dalam arti yang luas, sehingga kian hari kian tajam intuisinya, intelektualnya, bahkan yang sangat penting adalah spiritualnya.
Itu pun masih langkah awal, selanjutnya kaum muda harus berkonsolidasi melalui wadah yang memadai, seperti organisasi atau komunitas. Dari sana tukar pikiran dijalankan, pengamatan demi pengamatan dilakukan, lalu lakukan analisa, dan hadirkan tawaran solusi. Tentu ini sudah tinggal jalan di dalam tubuh organisasi Pemuda Hidayatullah.
Fokus Kajian dan Gerakan
Suara dalam pengertian gagasan hanya akan keluar jika dua hal telah menjadi tradisi. Pertama, fokus kajian. Kedua fokus gerakan.
Pemuda Hidayatullah wajib memiliki dua hal di atas untuk bisa melangkah pasti, berkiprah luas, dan berperan strategis. Tanpa itu, maka Pemuda Hidayatullah hanya akan menjadi pelengkap setiap gerakan yang besar dan terus berlangsung di negeri ini. Tanpa pernah memiliki gagasan otentik dan gerakan yang tertata apik.
Mewujudkan itu tidaklah sulit, kalau menurut Prof Din, tinggal melihat bagaimana kebutuhan rakyat dan arah kebijakan pemerintah, termasuk kecenderungan para pejabat. Tetapi, dasar sebelum masuk ke arah tersebut, intelektualisme dan spiritualitas harus terus dikuatkan. Dengan demikian, suara yang dikeluarkan adalah suara pencerahan, bukan ketidakpuasan dan kemarahan semata.
Ketika Allah Ta’ala memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk bangkit dan memberikan peringatan (bersuara), kapasitas intelektual, mental, dan spiritual sudah sangat matang melalui pengamalan Al-Alaq, Al-Qolam, dan Al-Muzzammil.
Dalam kata yang lain, Pemuda Hidayatullah sangat penting menekuni kajian tentang Manhaj Sistematika Wahyu lalu mengamalkannya dan mendakwahkannya hingga menjadi sebuah gerakan. Jika ini terus ditajamkan, maka insya Allah, Qaulan Tsaqila akan menjadi kekuatan pembeda, dimana suara Pemuda Hidayatullah bukan sekedar peramai aspirasi, tetapi benar-benar berbobot dan dapat dipertimbangkan serius oleh siapapun, terutama pemegang kebijakan di negeri ini.
Pertanyaannya, kapankah itu terjadi? Insya Allah segera, jika kita tak lagi berleha-leha dengan keadaan yang ada, tetapi bergegas mengambil peran, tanggungjawab dan benar-benar menempa diri untuk benar-benar mampu dan berani bersuara. Allahu a’lam.*
Imam Nawawi, Ketua Umum Pemuda Hidayatullah