Oleh Dzulkifli M. Salbu*
50 TAHUN perjalanan Hidayatullah, tentu bukan waktu yang singkat. Sudah cukup jauh kita berjalan, tak ada salahnya, sejenak kita menepi, menghela nafas untuk mengembalikan stamina, sembari memastikan, apakah kita masih on the track.
Ini penting, sebab sedikit saja kita keluar jalur, maka akselerasi sekalipun yang kita lakukan justru menjadi musibah, karena akan makin menjauhkan kita dari tujuan utama, begitu nasehat yang sering disampaikan para pembimbing.
Salah satu pertanyaan sederhana yang bisa jadi acuan adalah, benarkah saat ini kita masih berjuang, jika ya, di mana letak perjuangan kita.
Allahuyarham Ust Abdullah Said pernah mengatakan, jika jalan yang kita tempuh sama seperti jalan yang pernah dilalui oleh Rasulullah dan para sahabat, maka dipastikan kita pun akan menemui apa yang pernah dirasakan oleh Rasulullah dan sahabatnya.
Berjuang memang tidak identik dengan penderitaan, tapi secara objektif harus diakui, bahwa pengorbanan yang kita lakukan, untuk terbangunnya peradaban Islam sebagai visi besar Hidayatullah, masih sangat minim, masih sangat berjarak dengan Rasulullah dan para sahabat.
Fakta sederhana, yang diamanahi mengabdi di amal usaha, baik di pendidikan, ekonomi, yayasan atau amal usaha lainnya, kadang terjebak dalam rutinitas tugas, tanpa pernah menyadari atau mencicipi sensasi nikmatnya berjuang.
Terkadang pertanyaan nakal menggelitik perasaan, dimana letak perjuangan kita di Hidayatullah. Jika kita seorang guru, kita digaji, pengurus yayasan ada natura, yang mengelola usaha ada bagi hasil, menghadiri rapat atau musyawarah, biaya ditanggung lembaga.
Dinikahkan, dilengkapi kendaraan dinas, rumah dinas, dan fasilitas lainnya. Secara umum tak ada bedanya, bahkan tidak mustahil lebih sejahtera dari ASN.
Para petinggi lembaga telah melakukan rekayasa sosial, dengan membuat regulasi secara maksimal, agar seluruh kader menjadi muslim ideal, ada GNH, halaqah, mutasi, dan program lain yang bernuansa spiritual, nah, jika ini juga masih ditawar, masih beranikah kita mengaku berjuang?
Tulisan ini tak bermaksud mengecilkan perjuangan para kader yang telah menjual diri di lembaga ini, namun terselip harapan, tulisan ini menjadi bahan evaluasi, untuk mengantisipasi potensi penyimpangan, yang bisa saja terjadi setiap saat.
Sebab tak menutup kemungkinan, jabatan struktural yang sakral, bisa dimanfaatkan oleh oknum yang nakal, amanah fungsional bisa disalah gunakan oleh mereka yang bermental kriminal, katanya ingin profesional, padahal itu alasan abal-abal, orientasinya finansial, tapi terbungkus dengan bahasa yang sangat rasional.
Kelihatan ingin menambah amal, padahal untuk menambah modal, kalau sudah begini, yang haram jadi halal, kawan seiring akan dijegal, demi tujuan yang bersifat material, lupa kalau ada ajal, yang akan datang sesuai jadwal, dia jadi tumbal, oleh syetan yang pembual, pikirannya dangkal, kebijakannya janggal, keputusannya tak masuk akal, semoga aqidahnya tidak ikut terjual, yang membuat imannya jadi batal.
Terakhir, besar harapan semoga milad Hidayatullah ke 50, tidak membuat kita hanyut dalam euforia atas capaian spektakuler yang telah diraih Hidayatullah.
*)Dzulkifli M. Salbu, penulis adalah Ketua Dewan Pengurus Wilayah Hidayatullah Kalimantan Selatan