AdvertisementAdvertisement

Bicara dari Hati ke Hati dengan Anak Kita

Content Partner

Bicara dari Hati ke Hati dengan Anak Kita

» وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ «

“Dan orang-orang yang beriman, dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Ath-Thur: 21).

Saudaraku,
Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya “at-Tahrir wa at-tanwir”, menafsirkan ayat di atas, “Karunia agung yang Allah berikan kepada para orang tua di surga adalah memasukkan anak-anak mereka ke surga bersama mereka, padahal amalan anak-anak mereka tidak sebaik amalan orang tuanya”.

Dan itu semua (berkumpul keluarga di surga) menyempurnakan kenikmatan mereka di surga, yang telah bersanding dengan bidadari bermata jeli, dan bertetangga dengan saudara-saudara seiman.

Karena berkumpul mesra bersama keluarga di mana pun kaki kita berpijak merupakan harapan fitrah insani. Di dunia fana ini. Terlebih di surga.

Saudaraku,
Mungkinkah harapan berkumpul kembali di surga bersama keluarga dan anak-anak kita akan terwujud di alam realita akherat, tanpa kita mendidik dan membimbing mereka?. Tentu tidak. Tanpa didikan nilai religi, harapan tersebut hanya menjadi fatamorgana belaka. Terhempas sia-sia tanpa bekas yang tersisa.

Pernahkah kita mengukur kedekatan kita dengan anak-anak kita? Pernahkah kita meraba-raba, apakah kita telah mentransfer nilai-nilai religi kepada anak-anak kita dan memantulkan pesan-pesan ruhani kepada mereka? Tentunya jawabannya, hanya kita yang mampu menjawabnya.

Saudaraku,
Pagi itu, suasana begitu sejuk. Semilir angin sepoi-sepoi menyapa wajah. Ali bin Abi Thalib r.a, khalifah rasyidin ke empat memanggil anaknya; Hasan r.a lalu dengan penuh kasih sayang ia menyampaikan pesan ruhani dan nilai-nilai religi kepada puteranya,

“Wahai anakku, intisari agama ini adalah berinteraksi dengan orang-orang yang bertakwa.

Kesempurnaan ikhlas dibuktikan dengan menjauhi semua perkara yang diharamkan-Nya.

Sebaik-baiknya ucapan, adalah ucapan yang diiringi dengan tindakan nyata (keteladanan).

Terimalah orang yang mengajukan uzur (alasan) kepadamu.

Maafkan orang yang meminta maaf kepadamu.

Ikutilah saudaramu (dalam ketaatan), meskipun ia sering bermaksiat kepadamu.

Dan hubungkan tali silaturahim dengannya, walaupun ia sering memutuskan tali persaudaraan denganmu.” (Shalih Ahmad al-Syami, Mawa’izh al-shahabah).

Saudaraku,
Nasihat Ali bin Thalib r.a kepada Hasan puteranya, menjadi pelajaran berharga bagi kita para orang tua dalam mendidik anak-anak kita.

  • Anak-anak adalah tali cinta. Kebahagiaan sebuah keluarga akan semakin membuncah dengan kehadiran sang buah hati. Tak jarang sebuah keluarga dilanda kebosanan, kapal cinta menjadi oleng lantaran pujaan hati yang didamba tak kunjung hadir meramaikan dan menyerikan biduk keluarga. Sebagai tanda syukur atas karunia besar ini, kita berkewajiban merawat amanah Allah s.w.t ini dan mendidiknya dengan nilai pendidikan yang Dia kehendaki.
  • Orang tua adalah orang pertama yang berkewajiban melakukan transfer nilai religi, memantulkan keteladanan, menanam dan merawat pohon ruhani di hati anak-anaknya. Agar anak-anak kita mampu merekam dan mengikuti jejak keshalihan orang tuanya.
  • Nilai nasihat akan masuk ke dalam hati, jika ia memantul dari hati, bukan sekadar ucapan lisan yang hambar dari keteladanan. Disampaikan dengan hati-hati. Memancar dari kelembutan hati dan cinta. Sebaliknya, nilai pengajaran akan membuat anak menjadi kurang ajar, jika disampaikan dengan kata-kata yang tak sabar. Memantul dari wajah yang kasar. Sebaik dan sebenar apapun nasihat itu.
  • Kisah ini memberikan keteladanan bagi kita, demikianlah seharusnya hubungan orang tua dengan anaknya. Ada kedekatan di sana. Ada keakraban. Ada hubungan emosional. Ada sapaan kasih. Ada teguran cinta. Walau sesibuk dan sepadat apapun aktifitas rutin keseharian kita, sempatkanlah berbicara dari hati ke hati dengan anak kita.
  • Orang yang memahami dien dengan baik, tampak dari kedekatan dan interaksinya dengan orang lain. Orang yang menjadikan orang-orang dekatnya dan teman pergaulannya adalah orang shalih dan bertakwa, maka ia termasuk golongan mereka. Begitupun sebaliknya, sulit kita mempercayai kualitas agama seseorang, jika teman pergaulannya adalah orang-orang yang memiliki persoalan mental dan buruk perangainya.
  • Membentengi diri kita, keluarga dan generasi kita dari hal-hal yang diharamkan, merupakan bukti keikhlasan kita dalam mentaati rambu-rambu-Nya. Bagi orang tua, mendidik anak-anak untuk senantiasa menjaga nilai sebuah keikhlasan dalam beramal merupakan suatu kelaziman.
  • Keteladanan merupakan syarat kedekatan dan kecintaan masyarakat kepada kita. Terlebih jika kita menjadi publik figur, ustadz, orang yang berkedudukan, orang tua apatah lagi sebagai pemimpin dalam masyarakat. Pandai merangkai kata-kata dan indah dalam bertutur kata, tanpa diimbangi dengan keteladanan, maka kita akan gagal meraih hati dan simpati mereka.
  • Kebesaran hati tampak dari ‘salamatus shadr’; lapang dada. Dengan dada yang lapang, maka kita mudah menerima uzur, memaafkan kekhilafan, keteledoran dan kesalahan orang lain. Orang yang melihat dunia-nya sempit, pengap dan gelap, berarti ia tidak memiliki kelapangan dada. Sejatinya, kitalah yang dapat menciptakan dunia dalam hidup kita. Kita ingin dunia kita menjadi luas atau sempit.
  • Ukhuwah (persaudaraan iman) yang tulus suci, melahirkan kesetiaan yang abadi. Keringnya ukhuwah orang lain terhadap kita yang ditandai dengan kurangnya komunikasi dan sedikitnya kadar kunjungan. Atau terkadang kata-kata yang terucap dari bibirnya sering melukai perasaan kita. Sikapnya yang membuat ketenangan kita terusik. Dan yang senada dengan itu. Jika sudah demikian, kembalikan akar persoalan pada diri kita. Barangkali, kita kurang arif dan aktif dalam menyirami ladang ukhuwah kita dengan air iman, jarang kita taburi pupuk perhatian dan cinta. Dan seterusnya.

Saudaraku,
Sudahkah kita mendidik anak-anak kita dengan kelembutan hati dan cinta? Dan sudahkah kita tanamkan nilai-nilai luhur di dalam hati anak-anak kita, yang pernah ditanamkan Ali bin Abi Thalib ra terhadap anaknya Hasan?.

Mari kita teladani kehidupan salafus shalih. Karena di sana ada keberuntungan dan kesuksesan. Wallahu a’lam bishawab. (Metro, 12 Januari 2017)

___________
FIR’ADI NASRUDDIN, LC, penulis adalah seorang dai dan alumni Universitas Islam Madinah.

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Harga Mati Rejuvenasi

SAAT ini, organisasi Islam dihadapkan pada tantangan besar untuk terus berkembang dan beradaptasi dengan dunia yang semakin berubah. Di...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img