AdvertisementAdvertisement

Hidayatullah dan Pertanyaan Kedubes Amerika Serikat

Content Partner

Pendidi Hidayatullah, Ustadz Abdullah Said,  saat menerima anugerah Kalpataru dari pemerintah di Istana Negara tahun 1984
Pendiri Hidayatullah, Ustadz Abdullah Said, saat menerima anugerah Kalpataru dari pemerintah di Istana Negara tahun 1984
Kunjungan anjangsana silaturrahim Panglima TNI Angkatan Darat Raden Hartono tahun 1995
Kunjungan anjangsana silaturrahim Panglima TNI Angkatan Darat Raden Hartono tahun 1995

PERTENGAHAN Februari tiga tahun lalu, Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Amerika Serikat Mr Hilary C Dauer berkunjung ke kantor Hidayatullah di Jakarta Timur. Dia datang dengan rasa penasaran.

Katanya, dia baru saja pulang dari pedalaman Papua. Dia tercengang mendapati sebuah pesantren telah berdiri di sana. Pesantren itu ternyata adalah Pesantren Hidayatullah.

Sebelumnya, dia juga pernah berkunjung ke pedalaman Kalimantan. Lagi-lagi, di sana dia mendapati Pesantren Hidayatullah. Ia kian penasaran. Ia ingin tahu lebih banyak tentang Hidayatullah.

Rabu menjelang siang itu, ia datang bertamu untuk sekadar menuntaskan rasa ingin tahunya. Ia menceritakan pengalamannya mengunjungi sejumlah wilayah terpencil di Indonesia dan keterkejutannya mendapati Pesantren Hidayatullah telah berdiri di sana.

“Apa yang dilakukan Hidayatullah sehingga jaringannya bisa begitu luas?” Kira-kira begitulah pertanyaan sang Sekretaris Pertama Kedubes AS kepada saya dalam kunjungannya ketika itu.

Memang benar, Hidayatullah saat ini telah ada di hampir 300 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Namun, terus terang, saya sulit memberikan pemahaman kepadanya mengapa Hidayatullah bisa berkembang seperti sekarang ini.

Ketika pertama berdiri tahun 1970-an, Hidayatullah hanyalah sebuah masjid kecil berukuran 20 x 10 meter persegi di atas sebuah lahan wakaf seluas 5,6 hektare di Desa Gunung Tembak, Kalimantan Timur, sekitar 30 km dari pusat Kota Balikpapan.

Masjid itu dibangun oleh Ustaz Abdullah Said Allahuyarham bersama para santrinya. Mereka bekerja secara bergantian. Setelah selesai, masjid tak sekadar dipakai sebagai tempat shalat, tetapi juga tempat belajar, pertemuan, bahkan juga tempat tidur.

Kian lama jumlah santri kian banyak. Bangunan juga bertambah. Santri-santri ini kemudian dikirim oleh Abdullah Said ke berbagai wilayah di Indonesia, utamanya di daerah-daerah terpencil. Mereka berangkat dengan bekal amat minim.

Tugas para santri ini sama, yakni membangun pesantren serupa di berbagai daerah di Indonesia. Pesantren yang dibangun ini tak sekadar tempat belajar, tetapi juga diupayakan menjadi miniatur peradaban Islam.

Tak lupa, Abdullah Said berpesan kepada para santrinya yang akan berangkat agar menjaga shalat malam, selain tentu saja shalat wajib tepat waktu secara berjamaah. Mengapa shalat malam? Sebab, shalat malam adalah sarana paling tepat untuk mencurahkan segala keluh kesah kepada Sang Maha Pencipta. Shalat malam menjadi penting karena jalan dakwah tak akan pernah mudah. Shalat malam akan memberikan spirit baru dalam berjuang.

Dari spirit shalat malam inilah para santri bisa bertahan di tempat tugasnya dengan segala lika-liku hidupnya. Bahkan tak sekadar bertahan, tapi juga berkembang dan membesar.

Pimpinan Umum Hidayatullah Ustaz Abdurrahman Muhammad, saat membuka musyawarah Majelis Syura Hidayatullah di Batam awal September lalu menyatakan, spirit Hidayatullah adalah kalimat Laa ilaaha illallah. Kalimat inilah yang menjadi spirit Nabi Musa AS saat menemui Fir’aun, raja yang mendaulat dirinya sebagai Tuhan. Kalimat ini pula yang direkomendasikan oleh Nabi Muhammad SAW bila ingin memenangkan dakwah ini. “Katakan Laa ilaaha illallah,” kata Rasulullah SAW, “kalian pasti menang.”

Cerita seperti ini jelas akan sulit dipahami oleh sang Sekretaris Pertama Kedubes AS. Cerita seperti ini hanya akan dipahami oleh mereka yang meyakininya.

Apalagi bila melihat kiprah Hidayatullah yang terpublikasi di media-media massa, jelas tak semeriah organisasi Islam lainnya. Tak ada tokoh Hidayatullah yang dikenal luas oleh publik. Tak pernah pula ada aksi demonstratif besar-besaran yang digelar organisasi ini. Tak terdengar kader organisasi ini tumpah ruah ke jalan-jalan untuk menunjukkan kekuatan mereka.

Hidayatullah berkembang dengan caranya sendiri. Meskipun berbagai tudingan negatif sempat dialamatkan kepada mereka—misalnya tudingan sebagai organisasi radikal, tapi semuanya mampu ditepis dengan cara yang baik tanpa menimbulkan gejolak. Di usianya yang hampir setengah abad, Hidayatullah telah membangun negeri ini dengan caranya yang khas, cara yang mungkin sulit dipahami oleh mereka yang amat memuja logika dan tidak mengimani pertolongan Sang Khaliq.

Dan, tak lama lagi, organisasi ini akan menggelar Musyawarah Nasional IV di tempat kelahirannya, di Balikpapan, Kalimantan Timur, tepatnya pada 7 November 2015. Selamat bermuktamar, dai-dai Hidayatullah! Semoga tetap istiqamah dengan semangat dakwah dan tarbiyahmu. n

_______
MAHLADI, penulis adalah Kepala Biro Hubungan Masyarakat PP Hidayatullah. Artikel ini telah dimuat sebelumnya di harian umum nasional REPUBLIKA, Kamis, 10 September 2015.

- Advertisement -spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Ketua Umum DPP Hidayatullah Hadiri Tasyakuran Milad MUI ke-49

JAKARTA (Hidayatullah.or.id) -- Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, Ust. Dr. H. Nashirul Haq, MA, menghadiri acara Tasyakuran...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img