Oleh Ustadz Sholeh Hasyim
Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah, sujudlah, dan tunduklah kalian kepada Tuhan kalian. Dan lakukanlah semua kebajikan, niscaya kalian kelak di Akhirat akan beruntung (QS. Al Hajj (22) : 77).
Dari taujih Allah di atas kita dapat memahami bahwa agar kita memiliki kekuatan dan kemudian menjadi pemenang adalah dengan konsistensi amal shalih. Baik di awal, tengah, dan akhir, tentu didahuluii oleh kekuatan ruhani.
Namun, mewujudkan amal itu tidak sederhana dan mudah. Dan, lebih rumit lagi, adalah memelihara kualitas amal itu dari hal-hal yang membatalkannya (muhbithul amal). Yang selalu dijadikan titik tekan baik di masa perintisan, pertengahan, dan akhir perjuangan adalah keikhlasan dan kesabaran.
Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapa diantara kamu yang lebih baik (tulus) amalnya (QS. Al Mulk (67) : 2).
Kadang kehidupan kita secara individu, keluarga, dan organisasi mengalami cuaca buruk, bahkan goncangan.Tetapi, sebesar apa pun goncangan, cobaan, yang kita hadapi, satu hal yang tidak boleh kita lakukan adalah berhenti berjalan mengarungi samudera kehidupan ini atau menyerah terhadap keadaan.
Itulah fakta kehidupan kita yang melekat di dalamnya adanya pasang-surut, fluktuatif. Dinamika kehidupan adalah tarbiyah dari Allah yang kita pandang dengan spirit yang sama. Yang mengalaminya, bukan kita saja.
Bahkan, pendahulu kita mungkin mengalami goncangan yang lebih hebat dan menyakitkan. Orang kafir pun diberi ujian oleh Allah. Siapa saja yang tidak ikut menjadi peserta ujian, pasti tidak naik kelas, dan terpinggirkan dari kehidupan.
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”
“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, Maka Sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS. Ali Imran (3): 139-140)
Kebanyakan kita mempersepsikan bahwa ujian itu terjadi ketika kita dalam kondisi terjepit. Kekurangan rizki, kesehatan memburuk, berpisah dengan salah satu keluarga yang tercinta. Sedangkan, ketika karir kita naik, income kita bertambah, naik daun, tidak dianggap pujian.
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan” (QS. Al Anbiya (21) : 35).
Faktu sejarah membuktikan bahwa banyak manusia yang berhasil mengalami ujian kesempitan, tetapi gagal mengalami ujian kemapanan. Qarun, ketika miskin menjadi ahlul ibadah, ahlul mihrab, ahlul masajid, namun ketika kaya ia menjadi ahlul maksiat.
Kita khawatir, kita sukses di start, tetapi gagal ketika sampai finish. Sabar ketika diuji kesulitan namun tidak bersyukur ketika sukses. Memang, ketika kita tidak fokus dalam perjuangan, sering kali meladeni komentar orang-orang di tengah perjalanan. Sibuk melayani lingkungan sosial kita, sehingga kita tidak sampai di terminal terakhir tempat yang dituju.
Ada seorang ulama yang mengalami fase kritis dalam fase kehidupannya berpesan kepada ibunya. Ibu, jika saya nanti meninggal adakan selamatan, tetapi undanglah orang yang dalam kehidupannya tidak pernah mengalami ujian. Maka, sepeninggal beliau, selamatan diadakan, dan tidak ada seorang pun yang diundang hadir di rumahnya.
Sekarang kita analogikan dengan naik pesawat. Ketika pesawat mengalami turbulensi karena cuaca buruk, maka semua penumpang di dalam pesawat tersebut diminta duduk dengan tenang. Sembari diminta mengencangkan sabuk pengaman, pesawat tetap terbang sekalipun pesawat harus tetap melewati badai. Sulit dibayangkan, bila pesawat dihentikan karena ada badai.
Kekuatan Harmoni
Ada kaidah yang ditulis Syaikh Muhammad Al Ghazali : Anta maakaifa tufakkir (anda akan menjadi seperti apa yang anda impikan).
Dengan kata lain setiap realitas yang terjadi di dalam medan kehidupan, sebelumnya merupakan sebuah realitas di alam fikiran atau keyakinan. Sebalinya, realitas yang tidak pernah ada di alam pikiran maka tidak akan pernah terjadi pula dalam realitas kehidupan.
Oleh karena itu, hidup harus dituntun, dipandu, dikomando, dan digerakkan oleh cara berpikir kita. Sebab isi kognitif kita sangat menentukan cara kita bersikap dan bergerak. Sesungguhnya Allah SWT tergantung persangkaan hamba-Nya. Jika persangkaannya baik, demikianlah yang akan terjadi. Demikian pula sebaliknya, jika berpikir negatif, akan kacau pula di lapangan (Hadits Qudsi).
Jadi, kemenangan dan kekalahan tergantung pilihan kita. Jika kita ingin memperoleh kemenangan, penuhilah persyaratan untuk ditolong dan dimenangkan.
Jika ingin kalah dan tidak naik kelas, tidak ada keinginan untuk berubah, tidak usah menjadi peserta ujian. Silahkan berjalan di pinggir kehidupan. Dan nanti akan tergilas pergiliran dan perguliran zaman. Karena roda kehidupan akan terus berputar, tidak dapat dilawan.
Sesungguhnya tantangan yang besar berbanding lurus dengan besarnya peluang yang menyertainya. Demikian pula, tentangan yang mudah dan sederhana hanya mengandung peluang yang sepele dan remeh. Orang-orang yang besar meraih takdirnya dengan melewati ujian yang besar pula. Kualitas keimanan kita sepadan dengan tantangan kita. Keimanan dan ujian, datangnya satu paket.
Bahkan, surga itu berada di bawah bayang-bayang pedang yang terhunus. Ketika membaca pasang surut peradaban, kita akan menemukan satu kaidah penting bahwa pada saat peradaban sedang mengalami grafik kenaikan, maka sesungguhnya peradaban tersebut sedang dikendalikan oleh quwwaturruh (kekuatan spiritual).
Sebuah peradaban akan kandas di tengah jalan, jika para pengusungnya lemah dalam aspek ruhani. Peradaban mengalami kemajuan yang datar-datar saja, berarti ia sedang dikendalikan oleh logika. Peradaban jatuh terpuruk, jika dikelola oleh hawa nafsu dan kepentingan sesaat.
Sesungguhnya berbagai kemenangan kaum muslimin dalam berbagai medan, baik secara politik, sosial, ekonomi, pendidikan, diawali dari kemenangan yang bersifat ruhiyah. Sebaliknya kekacauan eksternal (faudho al khoriji), sesungguhnya merupakan kekacauan yang bersifat internal (faudho ad Dakhili).
Jadi, perjuangan kita adalah menata ulang (rekonstruksi) unsur-unsur internal (intidham ad Dakhili), agar tertata pula faktor-faktor eksternal (intidham al Khoriji).
Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa pasti Kami akan menimpakan kepada mereka berkah (tambahan kebaikan) dari langit dan bumi, tapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan (QS. Al Araf (7) : 96).
Dalam surat Al Kahfi berikut menegaskan bahwa kekacauan yang terjadi di luar kita berawal dari kekacauan yang ada di dalam struktur kepribadian kita.
Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingkat Kami, serta menuruti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya itu kacau (QS. Al Kahfi (18) : 28).
Tampak jelas di dalam kalimat wakaana amruhu furutha, bahwa urusan seseorang menjadi berantakan (al faudha al khariji) disebabkan oleh kekacauan yang di dalam dirinya (al faudha ad dakhili). Yakni ketika mengikuti hawa nafsunya. Demi kepentingan sesaat dan lalai dari mengingat Allah.
Orang yang mengikuti hawa nafsunya adalah orang yang mengalami disorientasi dan faktor yang menggerakkan dirinya adalah faktor di luar Allah SWT sehingga menimbulkan kekacauan (chaos).
Ketidakteraturan atau disharmoni di dalam diri kita akan menjadi pemicu dan pemacu disharmonisasi di dalam keluarga, masyarakat, dan lingkungan strategis kita. Bila, kita akan melakukan konsolidasi terhadap situasi yang kacau yang terjadi, maka pertama-tama kita harus melakukan konsolidasi di dalam diri kita dahulu. Caranya adalah dengan melakukan penataan ulang kondisi internal kita (intdham ad dakhili).
Fenomena kekacauan tersebut di dalam surat Ibrahim ayat 28 disebutkan oleh Allah SWT tidak saja bisa terjadi dalam skala pribadi atau komunal, tetapi juga negara. “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya kelembah kebinasaan”.
Ibnul Qayim dalam kitabnya “AlWabilush Shoyyib” menjelaskan ayat tersebut yakni sebab-sebab suatu kaum memperoleh petunjuk Allah sehingga dapat menciptakan keteraturan di negaranya dengan bantuan dan pertolongan Allah SWT.
Sebaliknya, lanjut Ibnul Qayim, ada kaum yang ditinggalkan Allah sehingga berantakan kondisi kaum dan negaranya karena aghfalna qalbahu ‘andzikrina, lalu dari melibatkan Allah dalam keputusan penting dalam kehidupannya.
Tokoh politik Islam Imam Al Mawardi dalam kitabnya “Adabud Dunya Wad Din” bahwa seluruh urusan manusia di dunia hanya akan teratur bila dilandasi oleh beberapa hal dengan hal utama adalah dinun matbu’un (agama yang selalu diikuti).
Sehingga, tampak jelas, bahwa akar keteraturan atau harmoni adalah kemapanan spiritual yang mendominasi dalam skala individu, keluarga, organisasi, dan negara. Bila seseorang kehilangan spiritualitas dalam dirinya maka dia akan mengalami disorder. Demikian pula dalam skala kehidupan berbangsa dan bernegara.
Al Mawardi menyebutkan pula perlunya factor as sulthanqahir (pemerintahan yang kuat), wakhish bundaa-im (kemakmuran yang berkesinambungan). Namun faktor komitmen (keterikatan yang kuat) dalam beragama tetap menjadi hal yang utama (dinun matbu’).
Itulah sebab, Rasululullah SAW dan para ulama dahulu sangat memperhatikan evaluasi ibadah yaumiyah, usbu’iyah, syahriyyah, ‘amiyah, dan marrotan fil ‘umri. Ibadah yang dimaksud mencakup ibadah qalbiyah, ibadah lisaniyah, dan ibadah ‘amaliyah/jasadiyah. []
____________
USTADZ SHOLEH HASYIM, Penulis adalah anggota Dewan Syura PP Hidayatullah. Saat ini pembina Pesantren Hidayatullah Kudus, Jawa Tengah.