MENGAPA kekacauan demi kekacauan di dunia kontemporer ini begitu merebak? Coba perhatikan berbagai berita media. Hampir semua mengabarkan kekacauan, perselisihan, kezaliman, saling sikat, dan sikut kanan dan kiri.
Sedemikian merebaknya kekacauan sampai-sampai di kalangan insan media di dunia barat berkembang suatu motto yaitu bad news is a good news (berita buruk adalah berita baik).
Dengan kata lain, berita yang mengandung kekacauan atau kriminalitas diyakini lebih memikat dan bakal mendatangkan profit. Bila suatu berita mengandung kebaikan, maka ia dianggap ”tidak menjual” karena tidak laku di benak publik dunia. Bakal kehilangan konsumen. Tontonan menjadi tuntunan. Tuntunan menjadi tontonan.
Sesungguhnya mengguritanya kemungkaran dan kezaliman di dunia ini faktor utamanya dipicu dari dosa dosa yang dilakukan oleh penghuninya. Melakukan dosa karena kuman (kurang iman).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum (30) : 41)
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ أَحْمَدُ فِي حَدِيثِهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ ثُمَّ التَّوْبَةُ مَعْرُوضَةٌ بَعْدُ
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Ahmad berkata di dalam haditsnya; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah pezina itu berzina ketika dia dalam keadaan beriman, dan tidaklah pencuri itu mencuri ketika dia dalam keadaan beriman, tidaklah dia meminum khamr ketika meminumnya sedangkan dia dalam keadaan beriman, kemudian taubat terbentang setelah itu”
Sebaliknya, cara jitu untuk meraih kejayaan, kesuksesan, kebahagiaan adalah menaikkan grafik mutu keimanan dan ketakwaan kita.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
مَن كَانَ يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ ۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجًا
“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya,” (QS. At-Talaq 65: 2).
وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓ ۚ
“dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (QS. At-Talaq 65: 3)
Seorang ideolog ormas islam besar di dunia, Syekh Said Hawa, mengatakan:
اِنّ عَصْرَنا هَذا مَمْلُوءٌ بِا الشّهَوَاتِ والشّبُهات
“Sesungguhnya zaman kita ini dipenuhi oleh lingkungan sosial yang syahwat (kerusakan hati) dan syubhat (kerusakan pikiran)”
Namun pertanyaan di atas belum terjawab. Mengapa hal ini terjadi di masa kita sekarang?
Tidak perlu kita susah-susah mencari jawabannya. Marilah kita simak pesan Nabi Muhammad saw (taujih nabawi) sebagai berikut :
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
Dari Abu Umamah Al Bahili dari Rasulullah Shallallahu’alaihiWasallam bersabda: “Sungguh ikatan Islam akan terurai simpul demi simpul. Setiap satu simpul terurai maka manusia akan bergantunganpada simpul berikutnya. Yang pertama kali terurai adalah masalah hukum dan yang paling akhir adalah sholat.” (HR. Ahmad : 21139).
Sebagaimana ditulis oleh Ahmad Martin Thomson dalam bukunya, Dajjal: the AntiChrist (1997), bahwa semenjak hampir satu abad yang lalu dunia memasuki suatu keadaan dimana nilai nilai Rabbani dan Nabawy ditinggalkan dan nilai-nilai kekafiran alias Sistem Dajjal ditegakkan.
Penulis muslim berkebangsaan Inggris ini dengan tegas berpandangan bahwa peradaban modern yang disetir oleh Dunia Barat Yahudi-Nasrani telah menyebabkan seluruh masyarakat dunia terjebak ke dalam suatu kehidupan yang mengingkari eksistensi Allah dan meyakini bahwa hidup ini hanyalah di dunia belaka.
Dunia tidak mungkin dikaitkan dengan akhirat. Padahal, secara logika kehidupan ini datang dan pergi, lahir dan wafat, awal dan akhir, pertemuan dan perpisahan. Allah menggambarkan mengenai karakteristik kaum sekularis (orang-orang yang dunia-minded) di dalam Al-Qur’an:
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا
إِلا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلا يَظُنُّونَ
”Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS Al-Jatsiyah ayat 24)
Dalam lintasan sejarah peradaban, kita dapati bahwa sebenarnya selama hampir empat-belas abad dunia berada dalam kebaikan karena dipimpin oleh orang-orang beriman yang senantiasa mengembalikan segenap urusan –baik pribadi maupun publik– kepada hukum Allah dan Rasul-Nya. Para pemimpin tersebut berusaha keras untuk memimbing masyarakat menuju keridhaan Allah dan mengikuti sunnah Nabi-Nya.
Memang harus diakui bahwa selama masa itu terkadang ada saja pemimpin ummat yang memiliki karakter bermasalah (baca: fajir), tapi secara formal otoritas kemasyarkatan pada masa itu masih menjunjung tinggi sumber utama rujukan ummat Islam, yaitu Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyyah.
Sehingga, secara garis besar, ummat masih merasakan rahmat dan nikmatnya hidup di bawah naungan hukum Allah. Sehingga selama rentang waktu yang begitu panjang ummat masih menyerahkan ketaatan dan loyalitasnya kepada Ulil Amri minkum (pemegang urusan dari kalangan orang-orang beriman) sebagaimana diperintahkan Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa : 59).
Kilas-Balik
Perhatikanlah sikap al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Ia dikenal Gubernur Muawiyah yang jahat dan angkuh. Ia dikenal rakyatnya seorang pemimpin yang suka menghukum tanpa bukti dan suka membunuh lawan politiknya.
Pada suatu hari ia menjebloskan seseorang ke dalam penjara, ia bukan pelaku kejahatan, tetapi kerabatnya. Orang itu dibawa kehadapan Al Hajjaj. Kemudian ia menginterogasinya, Siapakah yang membawamu datang kesini? Ia menjawab : Salah seorang dari keluargaku melakukan tindak kejahatan lalu saya ditangkap dan dipenjara sebagai penggantinya.
Mendengar jawaban orang yang ditangkap itu, Al-Hajjaj berargumen: Sebenarnya saya menghukum kamu berdasarkan ungkapan seorang pujangga Arab berikut :
جانِيكَ مَن يَجْنِي عَلَيكَ # وَقَد تُعْدِي الصِّحاحَ مَبارِكُ الجُربِ
ولَرُبَّ ماخوذٌ بِذَنْبِ عَشِيْرَةٍ # ونجا المُقارِفُ صاحِبُ الذَّنْبِ
Orang yang bertindak kejahatan kepada anda adalah orang yang berbuat kejahatan kepada anda. Terkadang onta yang sakit dapat menularkan penyakit kepada onta yang sehat.
Mungkin seseorang dapat dihukum berdasarkan dosa keluarga, sehingga orang berbuat kejahatan itu bisa bebas. Menurut penyair di atas bisa terjadi seseorang dihukum lantaran dosa orang lain. Setelah itu orang yang dipenjara tadi membantah dengan hujjah firman Allah pada surat Yusuf:
قَالَ مَعَاذَ ٱللَّهِ أَن نَّأۡخُذَ إِلَّا مَن وَجَدۡنَا مَتَٰعَنَا عِندَهُۥٓ إِنَّآ إِذًا لَّظَٰلِمُونَ
“Dia (Yusuf) berkata, “Aku memohon perlindungan kepada Allah dari menahan (seseorang), kecuali orang yang kami temukan harta kami padanya. Jika kami (berbuat) demikian, berarti kami orang yang zalim.”
(QS. Yusuf 12: Ayat 79).
Ucapan Yusuf itu merupakan penegasan surat Al Anam: 164, dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Setelah Al-Hajjaj mendengar ayat yang dibacakan diatas, secara reflek ia mengatakan : Bebaskanlah ia dari penjara, Shadaqallahul ‘Adzim, penyair itu pendusta.
Jadi, sejak 15 abad yang silam yang dikenal segala sumber hukum adalah Kitabullah & Sunnah Rasulullah SAW.
Namun semenjak dunia Islam dijajah oleh kekuatan internasional tertentu. Diterapkanlah politik farriq tasud (cerai-beraikanlah mereka, agar kalian menjadi tuannya).
Akhirnya, dunia menyaksikan berdirinya berbagai negara yang bukan lagi berlandaskan aqidah tauhid dan ibadah kepada Allah semata, maka mulailah dalam bidang hukum masing-masing nation-state tersebut meninggalkan hukum Allah dan Rasul-Nya.
Lalu negara negara itu berkreatifitas menyusun sendiri hukumnya masing-masing. Ada yang kurang kreatif sehingga begitu saja mengadopsi sistem hukum mantan penjajahnya, seperti Indonesia mengambil perangkat hukum Belanda sebagai hukum nasionalnya. Seperti KUHP.
Namun, ada juga yang sedikit lebih kreatif dengan mengkombinasikan hukum mantan penjajahnya dengan hukum adat-setempat plus campuran hukum dari Al-Qur’an. Tetapi tidak ada yang secara murni dan konsekuen menjadikan hanya Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyyah sebagai rujukan tunggal hukum nasionalnya, apalagi dalam tataran aplikasinya.
Inilah salah satu tanda akhir zaman yang diprediksi oleh Rasulullah saw di dalam hadits riwayat Imam Ahmad di atas. “Sungguh ikatan Islam akan terurai simpul demi simpul. Setiap satu simpul terurai maka manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya. Yang pertama kali terurai adalah masalah hukum (ikatan formal) dan yang paling akhir adalah sholat (ikatan informal).”
Jelas sekali Nabi saw mengisyaratkan bahwa dekadensi penerapan ajaran Islam diawali dengan lepasnya simpul dalam masalah hukum. Dewasa ini kita menyaksikan bahwa tidak ada lagi tatanan masyarakat yang masih menerapkan hukum Islam secara murni dan konsekuen.
Semua berlomba meninggalkan hukum Allah dan membanggakan hukum produk kelompok manusia masing-masing. Tanpa kecuali hal ini juga terjadi di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim.
Jika masyarakat diajak untuk kembali kepada penerapan Islam atau kembali kepada hukum Allah dan RasulNya, maka kebanyakan orang menolaknya. Padahal sikap penolakan seperti yang mereka tunjukkan hanya pantas dilakukan oleh kaum munafik sebagaimana Allah jelaskan berikut:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (QS. An-Nisa : 61)
Dengan menerapkan hukum sebagaimana bimbingan Al-Qur’an maka kebenaran dan keadilan dapat diwujudkan. Banyak orang mengaku membela kebenaran dan keadilan, namun jika ditanya apa yang dia maksud dengan kebenaran dan keadilan, maka ia pasti akan menjawab selain Al-Qur-an. Padahal kebenaran dan keadilan dapat terwujud jika kita menegakkan hukum berlandaskan Kitab Allah, yakni Al-Qur’an.
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا لا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
”Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-An’am : 115).
Wajarlah bila disebut hukum Al-Qur’an merupakan hukum satu satunya yang benar dan adil, sebab seluruhnya bersumber dari Allah Yang Maha Benar lagi Maha Adil. Sedangkan hukum manusia merupakan hukum yang mengandung cacat dan ketidak-sempurnaan, sebab Allah sendiri menggambarkan manusia sebagai makhluk yang amat zalim (karena faqrul iman) lagi amat bodoh (miskin ilmu).
Bagaimana mungkin manusia dengan karakter seperti itu akan sanggup memproduk hukum yang benar apalagi adil ? Tidak mengherankan kalau di zaman ini kita temukan bahwa berbagai kezaliman dan perilaku bodoh merebak di tengah kehidupan masyarakat modern.
إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS . Al-Ahzab : 72)
Setelah kepemimpinan dunia islam dimakzulkan, berkali-kali tokoh dunia islam mengadakan kongres untuk mengembalikan kepala dalam tubuh umat ini, tetapi musuh terlalu kuat untuk dilawan. Namun 4 tahun setelah itu seorang pemuda Mesir yang berusia likuran mendirikan gerakan islam terbesar di dunia.
Gerakan inilah yang menginspirasi berdirinya gerakan Jamaah Tabligh di India, Jamaat Islam di Pakistan, FIS di Al-Jazair, Gerakan Salafi di Saudi Arabiyah, Hizbut Tahrir di Suria, PAS di Malaysia, dan gerakan-gerakan Islam di tanah air kita.
Terurainya Simpul Ruhani
Dari terurainya simpul Islam yang paling pertama ini, maka kitapun menyaksikan terurainya berbagai simpul Islam lainnya. Sehingga dewasa ini tidak lagi mengherankan bila kita mendapati seorang yang mengaku muslim dengan ringannya meninggalkan kewajiban paling asasi, yaitu shalat (ikatan informal).
Dan, jika ini benar, berarti dewasa ini kita sedang menyaksikan realisasi hadits Nabi saw di atas di mana dari ikatan Islam paling awal –yaitu masalah hukum– hingga ikatan Islam paling akhir –yaitu shalat– semua telah terurai.
Marilah kita menjadikan fenomena terurainya ikatan Islam ini sebagai ibrah agar kita memainkan peranan dan kontribusi seoptimal mungkin untuk merajut kembali ikatan Islam simpul demi simpul.
Dimulai dengan kita melakukan proyek yang terprogram dan berkelanjutan, yaitu: ishlahul aqidah (siap ditugaskan untuk mengharumkan Islam), ishlahul akhlak, ishlahul ibadah (menghidupkan shalat wajib berjamaah dan di masjid tepat waktu dan tuntas), menjadikan diri dan keluarga sebagai alat peraga dakwah ilallah, hingga mengadvokasi wajibnya ummat kembali tunduk kepada hukum Allah dan Rasul-Nya – dalam berbagai dimensi kehidupan – dan meninggalkan sifat aniaya yang hanya menimbulkan kekacauan, melestarikan kemungkaran, dan berpihak kepada kezaliman. Insya Allah.