وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Begitulah ketetapan Kami bagi orang- orang yang berbuat zhalim. Orang-orang zhalim itu saling tolong- menolong dalam berbuat dosa ( QS. Al An’ am (6) : 129).
Keshalihan dan ketakwaan yang kita lakukan sekarang memiliki efek jangka panjang. Demikian pula kezhaliman yang kita lakukan. Keduanya ada hukuman dan balasannya di dunia dan akhirat. Disini berlaku hukum kausalitas.
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لأنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الآخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا
Jika kalian berbuat baik, sebenarnya kebaikan itu untuk kalian sendiri. Jika kalian berbuat kerusakan, kerusakan itu akan merugikan kalian sendiri. Dan ketika datang hukuman yang kedua yaitu tentara Jalut menghancurkan diri kalian, mereka memasuki masjid lalu menghancurkannya sebagaimana pertama kali dahulu melakukannya. Mereka membinasakan apa saja yang dapat mereka kuasai di negeri kalian (QS. Al Isra (17) : 7).
Ada dua dosa yang akan disegerakan siksanya di dunia ini, yaitu al baghyu (merampas hak orang lain) dan durhaka kepada orang tua (‘uququl walidain) (HR. Thabrani).
Kedua arahan Allah dan Rasul-Nya di atas sepatutnya menjadi mashdarur ruh (sumber stamina dan energi) untuk konsisten menyusun program yang kita serap dari ajaran kita sampai akhir hayat. Tanpa memperdulikan responbilitas orang lain. Karena kita yakin, perjuangan kita itu akan kembali kepada kita. Ibarat pepatah Bahasa Jawa : Rawe-rawe rantas, malang- malang putung.
Kualitas kepemimpinan masa depan berbanding lurus dengan kesiapan kita untuk melakukan revitalisasi, reaktualisasi, dan rekonstruksi pada struktur kepribadian kita (syakhshiyyah islamiyah). Sedangkan perubahan dan pengabdian serta penyelamatan umat yang kita gulirkan tergantung kesiapan untuk berubah lapisan inti umat itu sendiri. Yaitu kalangan kepemimpinan, meminjam istilah Bapak Sosiolog Muslim, Taghyiiru khuluqil ummati taabi’un litaghyiiri khuluqil qiyadati (perubahan moral umat mengikuti – kesiapan – untuk berubah dari kalangan elitisnya).
Imam Syafii mengatakan: Sesungguhnya kualitas pemuda (calon pemimpin) diukur dari keilmuan dan moralitas, jika keduanya tidak melekat pada struktur kepribadiannya, tidak dipandang sebagai pemuda. Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan. (idzil fataa bil ‘ilmi wat tuqaa in lam yakunaa la ‘I’tibara lidztihi, syubbanul yaum rijalul ghod).
Oleh karena itu Rasulullah Saw memberikan taujih, sebagaimana yang diulang setiap khatib Jumat: “Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, dan hendaknya setelah melakukan kejelekan engkau melakukan kebaikan yang dapat menghapusnya. Serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik.
Rincian Taujih Nabawi
Dari Abu Dzar Al Ghifari radhiallahu’anhu, ia berkata: ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
اِتَّقِ االلهَ حَيْثَمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, dan hendaknya setelah melakukan kejelekan engkau melakukan kebaikan yang dapat menghapusnya. Serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik‘” (HR. Ahmad 21354, Tirmidzi 1987, ia berkata: ‘hadits ini hasan shahih’)..
Merujuk sabda Rasulullah Saw diatas, dapat dipahami bahwa ada tiga arahan yang menggambarkan jati diri ( identitas) sosok muslim, mukmin, mujahid sejati..
Taujih pertama: Bertakwa kepada Alloh Swt dimana saja dan kapan saja.
Penjelasan Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah: Hadits ini adalah hadits yang agung, di dalamnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyebutkan hak-hak Allah dan hak-hak hamba. Hak Allah yang disebutkan adalah bertaqwa kepada-Nya dengan taqwa yang sejati. Yaitu menjaga diri dari murka dan adzab Allah, dengan menjauhi larangan-Nya dan menjalankan perintah-Nya.
Wasiat taqwa ini adalah wasiat dari Allah untuk hamba-Nya dari yang paling awal hingga akhir, ini juga merupakan wasiat para Rasul kepada kaumnya, mereka berkata:
اَعْبُدُ وَا اللهَ وَا تَّقُوْهُ
“Sembahlah Allah saja dan bertaqwalah kepada-Nya”..
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai manusia ! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al Baqarah (2) : 21)…
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Wahai orang-orang yang beriman ! Rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebaikan, agar kamu sukses (QS. Al Hajj (22) : 77)…
Allah Ta’ala membahas masalah taqwa bahwa indikator takwa itu produktif dan dinamis dalam beramal shalih. Mutu ketakwaan tidak dinilai dari income yang dimilikinya, tetapi lebih pada peran, partisipasi, dan kontribusi sosialnya. Baik berupa jiwa, harta, ilmu, dan potensi yang lain. (al ‘ Ibratu biddauri wal ‘ athaai laa bil manashibi wal wazhaaifi)..
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami jadikan kalian berbangsa- bangsa dan bersuku- suku, supaya kalian saling memahami. Sungguh orang paling mulia di sisi Alloh adalah orang yang paling bertakwa ( bersih dari syirik) ..Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Luas ilmu- Nya (QS. Al Hujurat (49) : 13).
Ahli tafsir Ibnu Abas mengatakan, Takwa adalah bahwa Allah selalu diibadahi dan tidak disekutukan. Nikmat dan karunia Allah senantiasa disyukuri dan tidak diingkari. Nama Allah selalu disebut dan tidak dilupakan. Allah selalu didekati dan tidak dijauhi..
Bentuk kontribusi insan bertakwa dengan haqqa tuqatih, dalam firman-Nya :
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Al Baqarah: 177).
Juga dalam firman-Nya :
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Al Imran: 133).
Kemudian Allah melanjutkan:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Al Imran: 134).
قُلۡ إِنَّ رَبِّي يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ وَيَقۡدِرُ لَهُۥۚ وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن شَيۡءٖ فَهُوَ يُخۡلِفُهُۥۖ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ ٣٩
Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)”. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya (QS. Saba (34) : 39).
Allah Ta’ala mensifati orang-orang bertaqwa dengan iman yaitu pokok keimanan dan aqidahnya, dengan amal-amal zhahir dan amal-amal batin (‘amaliyyatul mu’ taqodat wal jawarih) yang dilakukannya, juga dengan ibadah badan, ibadah maliyah (harta), kesabaran ketika mendapati dan menghadapi musibah. Juga dengan ibadah nafsiyah, sifat pemaaf kepada orang lain, menghilangkan gangguan, berbuat baik kepada sesama. Juga dengan semangat untuk bertaubat ketika melakukan perbuatan maksiat atau berbuat zhalim kepada diri sendiri.
KH. Hasyim Asyari dalam kitabnya “Adabul ‘Ilmi Wal Muata’allim, mengutip pendapat Imam Syafii mengatakan :Tauhid mewajibkan wujudnya Iman (ibadah I’tiqadiyah), barangsiapa tidak beriman maka dia tidak bertauhid, dan iman mewajibkan syariat, barangsiapa yang tidak ada syariat padanya (ibadah ‘amaliyah), maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid, dan syariat mewajibkan adanya adab (akhlak), maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakikatnya) tiada syariat, tiada iman, tiada tauhid padanya (Maktabah At-Turats Al Islami Jombang 1415 H. hal 11).
Jadi, ibadah qalbiyah I’tiqadiyah, ibadah lisaniyah, ibadah amaliyah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Rasulullah Saw bersabda, mengomentari orang yang melakukan shalat dengan melakukan banyak gerakan yang tidak teratur: Lau khosya’aat qulubuhu lakhasya’at jawaarihuhu (sekiranya khusyu’ hatinya maka kusyu’ pula anggota tubuhnya).
Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun memerintahkan dan mewasiatkan untuk konsisten dalam bertaqwa, dimana pun berada, kapan pun dan dalam keadaan apapun. Karena seorang hamba senantiasa sangat-sangat dituntut untuk bertaqwa, tidak ada satu kesempatan pun ia boleh melepaskan taqwa itu. Bahkan identitas taqwa ini akan kita bawa menghadap Allah Swt.
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah diri (QS. Ali Imran (3) : 103).
Taujih Kedua: Menghapus kesalahan dengan amal shalih
Ketika seorang hamba tidak menunaikan dengan baik apa-apa yang menjadi hak dan kewajiban taqwa, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk melakukan hal yang dapat membayar dan menghapus kesalahan itu. Yaitu melakukan kebaikan (al hasanah) atas keburukan yang telah ia lakukan.
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا. يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا. وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
Lalu aku berkata kepada kaumku, Hendaklah kalian istighfar kepada Rabb kalian dari kekafiran dan dosa- dosa kalian. Tuhan kalian itu senantiasa Maha Pengampun. Allah menurunkan hujan dari langit secara terus-menerus kepada kalian. Allah memberikan harta dan anak kepada kalian. Allah memberikan kebun dan sungai- sungai kepada kalian (QS. Nuh (71) : 10-12)..
Di sinilah perlunya mengadakan muhasabah ulang sebelum mengangkat program dengan meluruskan niat dan tekat. Agar lahir kekuatan internal (ikhlas) dan kekuatan eksternal (menggulirkan program amar bil ma’ruf dan nahi anil munkar). Kemudian ketika beramal perlu diberi titik tekan istiqomah, mudawamah, mujahadah, sabar, tawakkal. Kemudian setelah beramal, dengan melakukan istighfar, muhasabah, dan taubat. Dengan cara demikian akan melakukan perbaikan secara terus menerus.
Al hasanah adalah istilah yang mencakup segala hal yang mendekatkan diri hamba kepada Allah Ta’ala (wasilatut taqarrub ilallah). Sedangkan As Sayyiat segala hal yang menjauhkan dari Allah (wasilatut taba’ud ‘ anillah). Al hasanah dan Al Ma’rufat yang paling utama yang dapat membayar sebuah kesalahan adalah taubat nasuha, disertai istighfar dan kembali kepada Allah. Dengan berdzikir kepada-Nya, mencintai-Nya, takut kepada-Nya, mengharap rahmat dan karunia-Nya setiap waktu. Dan diantara caranya adalah dengan membayar kafarah baik berupa harta atau amalan badaniyah yang telah ditentukan oleh syariat.
Selain itu, bentuk al hasanah yang dapat menebus kesalahan adalah sikap pemaaf kepada orang lain, berakhlak yang baik kepada sesama manusia, memberi solusi pada masalah mereka, memudahkan urusan-urusan mereka, mencegah bahaya dan kesulitan dari mereka. Jadi, manusia takwa kehadirannya adalah bagian dari solusi, bukan bagian dari polusi (masalah). Apalagi mendatangkan kontaminasi.
Allah Ta’ala berfirman:
وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk” (QS. Huud: 114)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ اِلَى الْجُمْعَةِ رَمَضَانَ اِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ اِنِ اجْتُنِبَتْ الْكَبَائِرُ
“Shalat yang lima waktu, dari Jum’at ke Jum’at selanjutnya, dari Ramadhan ke Ramadhan selanjutnya, semua itu menghapus dosa diantara rentang waktu tersebut selama dosa besar dijauhi”..
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Wahai kaum mukmin, peliharalah dengan sebaik- baiknya shalat- shalat wajib dan shalat Ashar. Dirikanlah shalat dengan penuh keikhlasan (QS. Al Baqarah (2) : 238)..
Dan betapa banyak nash yang menyebutkan bentuk-bentuk ketaatan sebagai sebab datangnya ampunan Allah. Dan yang dapat membuat Allah mengampuni kesalahan-kesalahan adalah musibah. Karena tidaklah seorang mukmin ditimpa musibah berupa bencana, gangguan, kesulitan, meskipun hanya berupa tusukan duri kecuali pasti jadikan hal itu sebagai kafarah atas dosa-dosanya.
Musibah dapat berupa luputnya sesuatu yang disukai atau juga berupa mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, baik berupa pada jasad maupun pada hati, atau juga pada harta, baik yang eksternal maupun internal. Namun musibah itu bukanlah perbuatan hamba, oleh karena itu Nabi memerintahkan hal-hal yang berupa perbuatan hamba, yaitu menebus kejelekan dengan kebaikan.
لاَخَيْرَ لِعَبْدٍ لاَ يَسْقَمُ جِسْمُهُ وَلاَيَدْهَبُ مَالُهُ
Tidak ada kebaikan bagi seorang hamba yang tidak (pernah) sakit badannya dan tidak (pernah) kehilangan harta (al Hadits).
Kondisi mapan inilah yang menjadikan Firaun memproklamirkan dirinya menjadi tuhan yang paling tinggi. Seluruh tuhan dipandang berkedudukan dibawahnya. Karena, dalam dinamika kehidupannya ia tidak pernah kena musibah dan deretan keinginannya selalu terpenuhi sedia selalu
فَقَالَ أَنَا۠ رَبُّكُمُ ٱلۡأَعۡلَىٰ ٢٤
(Seraya) berkata: “Akulah tuhanmu yang paling tinggi” (QS. An-nazi’at (79) : 24)
Taujih Ketiga: Memperbaiki pola interaksi dengan manusia lain.
Kemudian, setelah Nabi menyebutkan haq Allah dalam wasiat taqwa yang mencakup aqidah, amal batin dan amal zhahir, beliau menyebutkan:
“Bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik”
Yang paling pertama dari akhlak yang baik adalah anda tidak mengganggu orang lain dalam bentuk apapun, dan engkau pun terjaga dari gangguan dan kejelekan mereka. Setelah itu anda bermuamalah dan bermu’ asyarah dengan mereka dengan perkataan dan perbuatan yang baik.
Lalu bentuk akhlak baik yang lebih khusus lagi adalah lemah lembut kepada orang lain, sabar terhadap gangguan mereka, tidak bosan terhadap mereka, memasang wajah yang cerah ceria, tutur kata yang lembut, perkataan yang indah dan enak didengar lawan bicara, memberikan rasa bahagia kepada lawan bicara, yang dapat menghilangkan rasa kesepian dan kekakuan. Dan baik juga bila sesekali bercanda jika memang ada maslahah-nya, namun tidak semestinya terlalu sering melakukannya.
Karena candaan dalam obrolan itu bagai garam dalam makanan, kalau kurang atau kelebihan akan jadi tercela. Termasuk akhlak yang baik juga, bermuamalah dengan orang lain sesuai yang layak baginya, dan cocok dengan keadaannya, yaitu apakah ia orang kecil, orang besar, orang pandai, orang bodoh, orang yang paham agama atau orang awam agama.
Maka, orang yang bertaqwa kepada Allah, dan menunaikan apa yang menjadi hak Allah. Lalu berakhlak kepada orang lain yang berbeda-beda tingkatannya dan latar belakangnya itu dengan akhlak yang baik. Maka ia akan mendapatkan semua kebaikan. Karena ia menunaikan hak Allah dan juga hak hamba. Dan karena ia menjadi menjadi orang yang muhsinin dalam beribadah kepada Allah dan muhsinin terhadap hamba Allah.
Ada dua modal untuk sukses bergaul. Yaitu, salamatush shadr (sterilnya hati dari kebencian terhadap orang lain) wal itsar (mendahulukan orang lain melebihi dirinya sendiri). Orang yang shalih adalah sosok yang mampu memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak anak Adam (Ash Sholih Huwal Qaaimu lihuquqillahi wa huquqil adami). Bahkan awal-awal kehadiran kita di seluruh pelosok tanah air mendapat julukan rijalul ‘amal (manusia aksi).
Itulah sosok yang tidak lalai dari misi kehidupannya. Dan ia telah memaknai dan menikmati kehidupannya. Fluktuasi kehidupan dipersepsikan sebagai romantika kehidupan. Demikianlah seyogyanya jatidiri aktifis Hidayatullah, mari senantiasa meyakini dan meneguhkannya.
رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالأبْصَارُ
Ada banyak orang yang ketika sibuk bekerja dan jual beli tidak lalai untuk mengingat Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari kiamat, suatu hari saat semua orang kafir hatinya terperangah dan matanya terbelalak (QS. An Nur (24) : 37).
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
Siapa saja yang taat kepada Alloh dan Rasul-Nya, di akhirat kelak ia akan bersama- sama dengan para nabi, orang-orang yang jujur dalam beriman, orang yang mati syahid dan orang- orang shalih yang telah Allah beri nikmat . Mereka itu adalah teman- teman yang sangat baik bagi orang-orang mukmin (QS. An Nisa (4) : 69).
__________
USTADZ SHOLEH HASYIM, penulis adalah anggota Dewan Mudzakarah DPP Hidayatullah. Materi ini juga disampaikan pada taujih ‘am (arahan umum) Pembina Yayasan Al Aqsho Ponpes Hidayatullah Kudus pada acara Rakeryas pada hari Senin-Selasa, 28-29 Desember 2015/ 16-17 Rabiul Awal 1437.