SAAT ini, organisasi Islam dihadapkan pada tantangan besar untuk terus berkembang dan beradaptasi dengan dunia yang semakin berubah. Di tengah kemajuan teknologi yang pesat dan dinamika sosial global yang semakin kompleks, organisasi Islam harus bisa jadi lebih dari sekadar tempat berkumpul atau wadah kegiatan rutin.
Organisasi Islam seharusnya jadi pendorong perubahan yang bisa membangun peradaban Islam yang relevan dengan zaman. Untuk bisa mencapai itu, rejuvenasi atau peremajaan organisasi adalah sebuah keharusan. Ini bukan pilihan lagi, tetapi harga mati!
Namun, realitasnya menunjukkan bahwa banyak organisasi Islam yang masih gamang dan terjebak dalam rutinitas lama, terfokus pada aspek-aspek yang sudah usang, dan hanya terhenti pada wacana serta retorika, tanpa implementasi nyata.
Sebagian besar masih menikmati dan berada dalam zona nyaman, bergulat dengan persoalan internal yang tidak segera diselesaikan, dan minim dalam merumuskan visi jangka panjang yang mampu merespons perubahan zaman.
Oleh karena itu, peremajaan organisasi Islam menjadi keharusan yang tidak bisa ditunda lagi. Harga mati bagi organisasi Islam yang ingin tetap relevan dan berperan dalam membangun peradaban umat di abad 21. Sebab, peremajaan ini bukan hanya soal memperbarui wajah atau menyegarkan program, tetapi merupakan langkah fundamental dalam memperkuat eksistensi organisasi untuk masa depan.
Mengapa Rejuvenasi Itu Penting?
Di tengah arus globalisasi dan era disrupsi yang semakin cepat, organisasi Islam tidak bisa terus menerus bergantung pada model-model lama yang pernah sukses di masa lalu.
Rejuvenasi bukan sekadar mengganti generasi tua dengan yang muda. Ini adalah proses merubah mindset, serta perubahan menyeluruh untuk menyegarkan kembali organisasi, baik dari segi leadership, visi dan misi, struktur, kemandirian, relevansi terhadap jaman, hingga program kerja. Sehingga, rejuvenasi organisasi Islam bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan.
Mengingat peran strategis yang mereka emban dalam membangun peradaban Islam, maka peremajaan organisasi, menjadi langkah penting untuk memastikan eksistensi, keberlanjutan dan relevansi organisasi tersebut di tengah perubahan zaman.
Organisasi yang tidak mau melakukan peremajaan, pada akhirnya akan mudah tersingkir oleh waktu dan tantangan yang semakin kompleks. Rejuvenasi diperlukan agar organisasi Islam dapat beradaptasi, tidak hanya dengan perubahan dalam lingkup sosial dan politik, tetapi juga dalam konteks perkembangan teknologi yang sangat mempengaruhi pola kehidupan dan budaya masyarakat sehari-hari.
Ada beberapa alasan penting mengapa rejuvenasi ini sangat krusial:
Pertama, Kepemimpinan yang Visioner dan Adaptif: Salah satu aspek utama dalam rejuvenasi organisasi Islam adalah regenerasi kepemimpinan yang visioner dan adaptif terhadap perubahan. Kepemimpinan bukan sekadar soal mengarahkan organisasi, tetapi juga tentang kemampuan untuk menginspirasi, membimbing, dan mengelola perubahan.
Dalam hal ini, pemimpin harus mampu mengatasi resistensi terhadap perubahan, membuka ruang bagi generasi muda untuk ikut terlibat, serta menciptakan kesinambungan kepemimpinan yang berbasis pada kompetensi dan spiritualitas. Kepemimpinan yang stagnan atau terjebak dalam pola lama akan menyebabkan organisasi kehilangan arah dan tujuan.
Kedua, Model Gerakan yang Dinamis: Model gerakan organisasi Islam harus dirancang ulang agar lebih responsif dan dinamis terhadap tantangan zaman. Model yang kaku, terbatas pada kegiatan keagamaan saja, atau tidak fleksibel dalam menanggapi isu-isu sosial dan politik, lingkungan, teknologi, budaya, dlsb, akan kehilangan daya tarik bagi generasi muda.
Oleh karena itu, organisasi Islam perlu mengembangkan model gerakan yang lebih inklusif, kreatif, inofatif dan terhubung dengan kebutuhan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang semakin kompleks.
Ketiga, Penyesuaian Visi dan Misi: Visi dan misi organisasi adalah kompas yang mengarahkan segala kegiatan dan program. Oleh karena itu, organisasi Islam perlu melakukan evaluasi dan penyesuaian terhadap visi dan misi mereka, agar tetap relevan dengan realitas yang berkembang.
Penyesuaian ini berup visi antara sebagai tahapan untuk mewujudkan visi utama yang telah ditetapkan. Sehingga visi yang rumuskan harus didasarkan pada pemahaman terhadap tantangan global dan lokal, serta harapan umat Islam di masa depan. Visi yang terlalu umum dan tidak spesifik dan tidak implementatif serta tidak terukuir, hanya akan menambah kebingungan dan menjauhkan organisasi dari pencapaian tujuan yang jelas.
Keempat, Struktur Organisasi yang Efisien dan Dinamis: Organisasi Islam sering kali terjebak dalam struktur yang kaku dan birokratis, yang justru menghambat efisiensi dan kreativitas. Oleh karena itu, penting untuk merancang ulang struktur organisasi agar lebih efisien dan dinamis, mampu merespons kebutuhan umat dengan cepat, dan memberikan ruang bagi anggota untuk berinovasi.
Struktur yang terlalu hierarkis atau rumit seringkali membuat proses pengambilan keputusan menjadi lambat dan tidak responsif terhadap kebutuhan mendesak. Sehingga perlu ada tafsir ulang terhadap konsep syura yang merupakan model struktur Islam yang baku dan sinergikan dengan konteks kekinian.
Kelima, Diversifikasi Program dan Lingkup Kerja: Salah satu aspek yang harus diperbarui dalam proses rejuvenasi adalah program dan lingkup kerja organisasi. Organisasi Islam tidak bisa lagi hanya fokus pada kegiatan keagamaan atau dakwah semata.
Program-program sosial, ekonomi, pendidikan, dan pemberdayaan umat harus menjadi bagian integral dari agenda organisasi. Dalam konteks ini, diversifikasi program menjadi sangat penting untuk menjawab tantangan dunia modern, di mana masalah sosial, ekonomi, dan politik saling terkait dan memerlukan solusi yang holistik.
Keenam, Kemandirian Organisasi: Kemandirian organisasi dalam berbagai aspek—baik finansial, sumber daya manusia, maupun operasional—merupakan faktor penting dalam keberlanjutan organisasi Islam. Organisasi yang terlalu bergantung pada bantuan luar, baik itu dana maupun sumber daya, akan mengalami ketergantungan yang berpotensi merugikan di masa depan.
Untuk itu, perlu ada upaya serius dalam membangun kemandirian melalui pengelolaan sumber daya yang lebih efisien, pengembangan ekonomi umat dan ekonomi kelembagaan serta penguatan sistem pendanaan yang berkelanjutan.
Keenam, Pemanfaatan Teknologi dan Inovasi: Di era digital, teknologi menjadi faktor yang sangat menentukan dalam efektivitas organisasi. Organisasi Islam perlu mengintegrasikan teknologi dalam setiap aspek operasionalnya, dari komunikasi hingga pelaksanaan program.
Penggunaan teknologi yang tepat dapat memperluas jangkauan dakwah, meningkatkan kualitas pendidikan, dan mempercepat implementasi program-program sosial. Selain itu, organisasi juga perlu mengembangkan inovasi dalam cara-cara mereka berinteraksi dengan generasi muda, menggunakan platform digital yang sudah akrab dengan kehidupan mereka.
Ketujuh, Keterlibatan Generasi Muda: Tidak ada masa depan bagi organisasi Islam tanpa melibatkan generasi muda dalam proses rejuvenasi ini. Generasi muda memiliki peran strategis dalam membawa organisasi ini ke masa depan.
Namun, keterlibatan mereka harus difasilitasi melalui pendidikan dan pelatihan yang tepat, serta pemberian ruang untuk berinovasi. Proses regenerasi ini harus berjalan secara sistematik, dengan menciptakan jalur yang jelas bagi pemuda untuk mengembangkan kapasitas dan kapabilitas mereka.
Tantangan dalam Proses Rejuvenasi
Meskipun rejuvenasi adalah hal yang sangat penting, namun proses rejuvenasi organisasi Islam tidaklah mudah. Tidak sedikit tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan dalam mewujudkannya, Beberapa tantangan yang sering dihadapi antara lain:
Pertama, Resistensi dari Senior: Seperti halnya dalam banyak organisasi lainnya, resistensi terhadap perubahan sering kali datang dari kalangan senior. Mereka yang telah lama berkecimpung dalam organisasi sering merasa nyaman dengan cara-cara lama dan takut jika perubahan akan mengancam posisi mereka. Proses rejuvenasi membutuhkan kebijaksanaan dalam melibatkan mereka tanpa mengabaikan kebutuhan akan pembaruan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Kedua, Kapasitas dan Kapabilitas Generasi Muda: Seringkali, generasi muda yang diharapkan menjadi penerus organisasi belum memiliki kapasitas dan pengalaman yang cukup untuk memimpin organisasi yang besar dan kompleks. Oleh karena itu, regenerasi kepemimpinan harus dilakukan dengan hati-hati, melalui program pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan agar mereka siap menghadapi tantangan masa depan.
Ketiga, Zona Nyaman: Organisasi yang sudah berjalan lama dan memiliki amal usaha yang mandiri dan berkembang, seringkali terjebak dalam zona nyaman, merasa tidak perlu berinovasi atau melakukan perubahan besar. Bukan beberati amal usaha yang tumbuh dan berkembang tidak openting namun jika “hanya” disibukkan urusan di amal usaha itu saja, akan bias dari visi organisasi itu sendiri. Sebab, sejatinya zona nyaman ini justru bisa menjadi ancaman bagi keberlanjutan organisasi. Untuk itu, harus ada keberanian untuk keluar dari zona tersebut dan menghadapi tantangan baru.
Keempat, Keterbatasan Sumber Daya: Keterbatasan sumber daya, baik finansial maupun manusia, sering menjadi hambatan besar dalam proses rejuvenasi. Namun, hal ini dapat diatasi dengan pendekatan yang lebih kreatif, seperti membangun kemitraan dengan lembaga lain, mengoptimalkan sumber daya yang ada, dan menggunakan teknologi untuk meningkatkan efisiensi.
Kelima, Manajemen Perubahan yang Lemah: Perubahan yang dilakukan tanpa perencanaan yang matang dan manajemen perubahan yang kuat sering kali berakhir dengan kebingungan dan konflik. Bahkan bisa menjadikan disorientasi atas rejuvenasi itu sendiri. Oleh karena itu, organisasi Islam harus memiliki strategi perubahan yang jelas dan terencana, yang melibatkan seluruh anggota dan pihak terkait.
Keenam, Ketiadaan Target yang Terukur: Salah satu alasan mengapa proses rejuvenasi sering gagal adalah karena kurangnya target yang jelas dan terukur. Setiap perubahan harus dilandasi dengan tujuan yang konkret dan dapat dipantau perkembangannya. Oleh karena itu, penting bagi organisasi Islam untuk memiliki roadmap atau blueprint yang jelas, yang memuat langkah-langkah strategis dan indikator keberhasilan yang terukur.
Menjadi Pelopor Peradaban Islam yang Relevan
Rejuvenasi bukanlah tugas mudah. Ia menuntut keberanian, kesungguhan, dan pengorbanan. Namun, jika organisasi Islam benar-benar ingin menjadi mercusuar peradaban, tidak ada jalan lain selain berkomitmen pada rejuvenasi sebagai harga mati.
Sebagaimana Rasulullah SAW mempersiapkan generasi sahabat yang tangguh untuk melanjutkan perjuangan Islam, demikian pula organisasi Islam harus mempersiapkan generasi baru yang siap menjadi pelanjut estafet perjuangan.
Dengan demikian maka, organisasi Islam memiliki peran besar dalam membangun peradaban yang lebih baik, lebih inklusif, dan lebih progresif. Untuk itu, proses rejuvenasi ini bukan hanya tentang memperbarui struktur atau program kerja, tetapi lebih kepada bagaimana organisasi Islam dapat menjadi pelopor dalam menciptakan perubahan positif dalam kehidupan umat manusia.
Dengan melakukan rejuvenasi yang sistematis dan terukur, organisasi Islam dapat memainkan peran kunci dalam membentuk masa depan peradaban Islam yang lebih cemerlang.
Maka dari itu, rejuvenasi bukan sekadar pilihan, tetapi harga mati bagi setiap organisasi Islam yang ingin tetap relevan dan berperan sebagai agen perubahan.
Organisasi Islam mampu beradaptasi dan merespons tantangan zaman dengan bijak dan relevan. Jangan biarkan organisasi besar ini menjadi fosil sejarah—bertransformasilah menjadi cahaya peradaban! Wallahu a’lam.
*) ASIH SUBAGYO, penulis adalah Ketua Bidang Pembinaan dan Pengembangan Organisasi Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah. Ditulis sambil berbaring karena kendala kesehatan