PUASA RAMADHAN adalah ibadah yang sangat unik. Selain dikerjakan secara massal dan sangat tepat waktu (terutama untuk sahur, berbuka, dan penentuan hilal), perilaku kaum muslimin pun turut berubah drastis.
Ada yang bergeser ke kutub positif, namun ada juga yang tanpa sadar justru tersedot ke kutub sebaliknya. Salah satu yang paling nyata perubahannya adalah pola makan. Minimal, mereka tidak akan makan sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari, kecuali ada udzur yang bisa dibenarkan.
Di antara kecenderungan negatif yang biasa muncul adalah berlebihan dalam makan-minum, terutama pada saat berbuka. Memang aneh, sebab Ramadhan adalah bulan puasa, tapi sebagian orang justru makan-minum secara berlebihan di dalamnya.
Bagi sebagian orang, puasa dijalani tidak lebih dari pergeseran jam makan belaka. Sarapan dipindah sebelum adzan subuh, makan siang ditunda sampai magrib tiba, dan makan malam disantap segera setelah merampungkan ibadah tarawih!
Benar bahwa makan-minum pada malam hari di bulan Ramadhan diperbolehkan. Tapi, setiap hal yang berlebihan pasti buruk.
Sebenarnyalah, kekenyangan membawa serta – minimal – sepuluh bahaya besar yang dapat dipahami dari sepuluh faedah lapar; sebagaimana dijelaskan Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin (III/84-88).
Bahaya pertama, kedua, dan ketiga adalah mengeruhkan hati, memadamkan tabiat baik, dan menumpulkan bashirah (mata hati). Kekenyangan biasanya mendatangkan kebebalan, membutakan hati, dan menyulitkan untuk berpikir jernih.
Kita menyaksikan bahwa korupsi di negeri ini tidak dilakukan oleh orang-orang yang lapar dan berkekurangan. Sebaliknya, korupsi justru didalangi tokoh-tokoh yang kaya-raya dan tidak pernah merasakan perihnya kelaparan.
Banyak tindakan ironis juga muncul dari sosok-sosok seperti ini, semisal perhelatan Miss World, pembelaan terhadap aliran sesat, penolakan terhadap Syariat Islam, dsb.
Bahaya keempat adalah mendorong untuk lupa kepada bala’ dan azab Allah, juga tidak bisa berempati kepada orang-orang yang tertimpa musibah.
Setiap kali seseorang kekenyangan, ia mungkin beranggapan semua orang seperti dirinya sehingga hatinya diliputi kelalaian. Dan, apabila manusia tidak pernah mengingat musibah atau orang yang tertimpa musibah, besar kemungkinan ia juga akan lupa terhadap azab Allah di akhirat sehingga semakin berani bermaksiat.
Bahaya kelima adalah membangkitkan syahwat untuk bermaksiat dan menyulitkan pengendalian hawa nafsu. Sebab, benih semua maksiat adalah syahwat, sedangkan bahan bakar syahwat tidak lain adalah makanan, terutama yang syubhat dan haram.
Bila seseorang mempersedikit makanannya, maka melemah pula syahwatnya. Konon, ummul mu’minin ‘Aisyah pernah mengatakan bahwa bid’ah pertama yang muncul dalam Islam sepeninggal Rasulullah adalah kekenyangan. Sebab, kapan pun seseorang kekenyangan maka ia akan diseret oleh hawa nafsunya untuk memburu dunia dan seluruh kelezatannya, seringkali dengan mengabaikan halal-haram.
Bahaya keenam adalah mendorong untuk banyak tidur dan tidak tahan bangun malam. Imam al-Ghazali berkata, “Tujuh puluh orang teman (yakni, teman beliau) sepakat bahwa banyak tidur disebabkan oleh banyak minum, dan banyak tidur itu menyia-nyiakan waktu, melewatkan shalat tahajjud, membebalkan tabiat, dan mengeraskan hati.”
Bahaya ketujuh adalah menyulitkan untuk kontinyu (mudawamah) dalam beribadah. Sudah pasti aktivitas makan-minum menghabiskan waktu tertentu. Orang yang banyak makan akan sibuk terlalu lama dengan makanannya, atau berkutat sekian waktu untuk mempersiapkan dan memilih-milihnya.
Belum lagi ia pasti akan sering bolak-balik ke kamar kecil untuk kencing dan berak, sehingga waktunya habis untuk urusan-urusan remeh dan tidak sempat beribadah dengan khusyu’. Mungkin ia pun sering kentut sehingga sangat sukar baginya untuk menjaga wudhu’.
Bahaya kedelapan adalah datangnya beragam penyakit dan kondisi tubuh yang tidak fit. Menurut Imam al-Ghazali, penyakit bermula dari banyak makan dan menumpuknya kelebihan zat makanan di dalam perut maupun urat.
Tentu saja penyakit akan menghalangi seseorang dari ibadah, meresahkan hati, membuatnya sulit berdzikir dan merenung, serta memaksanya mengeluarkan biaya-biaya ekstra yang mestinya bisa disalurkan ke pos-pos lain seperti sedekah, wakaf, haji, umrah, jihad, pendidikan, dsb.
Bahaya kesembilan adalah meningkatkan dan mempermahal biaya hidup. Banyak orang tercekik hutang gara-gara tidak bisa menahan nafsu makannya. Ia diperbudak perutnya sehingga terus-menerus lapar dan memburu makanan dari segala jenis, rasa, campuran, bumbu, dsb.
Padahal, seorang mukmin adalah sosok yang murah biaya hidupnya, sebab hasratnya bersahaja dan keinginannya pun tidak muluk-muluk. Oleh karenanya, seorang Ahli Hikmah berkata, “Sungguh aku memenuhi sebagian besar kebutuhanku dengan cara mengabaikannya, dan hal itu membuat hatiku merasa sangat nyaman.”
Orang yang banyak makan, jika tergolong kaya ia akan menghambur-hamburkan hartanya; namun jika tergolong miskin maka hatinya akan ditumbuhi ketamakan kepada hak milik orang lain yang kemudian mendorongnya untuk mencuri, menipu, curang, dsb.
Bahaya kesepuluh adalah berat untuk bersikap itsar (mendahulukan orang lain) dan bersedekah kepada fakir-miskin, anak yatim, dll. Orang yang terjangkiti penyakit gemar makan pasti egois dan pelit. Ia akan mendahulukan keinginannya untuk mencicipi makanan ini-itu, bukannya membantu orang lain yang kelaparan dan hidup serba kekurangan.
Demikianlah sepuluh bahaya kekenyangan. Adapun faedah-faedah lapar dan puasa, dapat dipahami dari kebalikannya seperti: menjernihkan hati, menggelorakan tabiat baik, menajamkan mata hati, dst.
Melalui puasa Ramadhan, Allah mengarahkan kita untuk meraih manfaat-manfaat tsb, sekaligus menghindari bahaya-bahaya yang mengancam. Semoga Allah memberi taufik kepada kita untuk mengamalkannya. Amin. Wallahu a’lam.
Ustadz Alimin Mukhtar