DALAM perjalanan hidup manusia, sering kali kita terjebak dalam rasa bangga atas kekuatan, kecerdasan, atau kedudukan yang kita miliki. Namun, Allah SWT mengingatkan melalui berbagai ayat dalam Al-Qur’an bahwa manusia, sesungguhnya, berasal dari asal yang hina dan tidak pantas berbangga diri. Salah satu pengingat penting tentang asal-usul dan keterbatasan manusia terletak pada Surah An-Nahl ayat 4, yang berbunyi:
خَلَقَ ٱلْإِنسَٰنَ مِن نُّطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُّبِينٌ
“Dia menciptakan manusia dari air mani, maka tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata.” (QS. An-Nahl: 4)
Ayat ini memuat hikmah tentang hakikat penciptaan manusia. Dalam perspektif Islam, kebesaran dan kekuasaan manusia adalah hal yang relatif, terbatas pada apa yang Allah kehendaki.
Kesombongan yang muncul akibat merasa diri kuat, pintar, cerdas, atau berkuasa sesungguhnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap asal-usul penciptaan yang rendah.
Manusia seringkali melupakan asal-usul penciptaannya. Berasal dari air mani, suatu substansi yang rendah dan hina, manusia kemudian dikaruniai bentuk yang sempurna dan kemampuan berpikir.
Namun, seiring bertambahnya pengetahuan, kekuasaan, dan kedudukan, banyak yang terjebak dalam kesombongan. Ini adalah bentuk pengingkaran terhadap kebesaran Allah SWT. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” (HR. Muslim)
Keangkuhan membuat manusia lupa akan hakikat dirinya dan menciptakan ilusi bahwa kekuatan dan kekuasaan berada dalam genggamannya. Padahal, semua yang dimiliki oleh manusia, baik itu pengetahuan, kekayaan, atau kekuasaan, hanyalah titipan dari Allah SWT.
Karenanya, sejak awal Allah SWT menyerukan manusia agar mengenali dirinya yang hina dan membesarkan nama Allah yang Maha Menciptakan. Surah Al-Alaq, yang terdiri dari ayat-ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, juga mengandung pesan yang sejalan dengan peringatan dalam Surah An-Nahl ayat 4. Dalam ayat-ayat pertama ini, Allah SWT berfirman:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ. خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ. اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ. الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ. عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq: 1-5)
Ayat-ayat dari surah yang pertama turun ini menegaskan bahwa sumber segala ilmu pengetahuan adalah Allah SWT. Ilmu yang dimiliki manusia, walaupun dapat membawanya kepada berbagai pencapaian, tidak boleh menjadikannya sombong.
Sebaliknya, ilmu tersebut seharusnya menjadi sarana bagi manusia untuk lebih mengenal kebesaran Allah SWT dan menyadari kelemahannya sebagai makhluk ciptaan.
Peradaban Islam
Visi Hidayatullah yang ingin membangun peradaban Islam sejalan dengan spirit Ilahi ini. Diantara muatan inti dari peradaban Islam adalah mengabarkan dan memperingatkan manusia untuk selalu merendahkan diri di hadapan Allah dan rendah hati terhadap sesama makhluk hidup.
Dalam Islam, konsep tawadhu (rendah hati) ini adalah menegasikan keangkuhan dalam diri dan menjadi kunci untuk menciptakan harmoni, baik antara manusia dengan Allah, maupun antar sesama manusia.
Kesombongan manusia sering kali menjadi sumber konflik dan ketidakharmonisan. Dengan merendahkan diri di hadapan Allah, kita diingatkan bahwa segala sesuatu di dunia ini, termasuk kekuasaan dan pengetahuan, hanya milik Allah.
Nilai nilai agung ajaran Islam ini juga menjadi dasar bagi visi membangun peradaban yang damai dan seimbang serta mengangkat harkat dan martabat manusia, di mana ia tidak hanya menjunjung tinggi ilmu dan kekuasaan, tetapi juga berusaha untuk menciptakan kebahagiaan sejati dengan bersikap rendah hati.
Merendahkan diri bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kesadaran akan hakikat diri sebagai makhluk yang lemah di hadapan kekuasaan Sang Pencipta. Dalam kehidupan sosial, sifat rendah hati menjadikan manusia lebih mudah berempati, bersikap adil, dan tidak merasa lebih baik dari orang lain. Inilah kunci kebahagiaan sejati yang diajarkan oleh Islam.
Melalui Surah An-Nahl ayat 4 dan Surah Al-Alaq ayat 1-5, Allah SWT mengingatkan kita untuk selalu menyadari asal-usul kita yang lemah dan hina, tidak sombong dengan ilmu atau kekuasaan, dan senantiasa mengagungkan Allah sebagai satu-satunya sumber kekuasaan dan pengetahuan.
Kalam Ilahi di atas mengirimkan pesan penting yang sejalan dengan visi besar membangun peradaban Islam yang harmoni, penuh dengan sikap rendah hati, dan menjauhkan diri dari keangkuhan.[]
*) Ust. Abdul Ghofar Hadi, penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal I Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah