MASA sekolah adalah waktu penuh warna—kenangan yang tersimpan erat, berlapis nostalgia. Masa ini adalah kaleidoskop antara keceriaan dan tantangan, antara teman yang membawa tawa dan guru yang terkadang membawa cubitan. Namun, semua itu, dengan cara yang tak selalu mudah dijelaskan, membentuk siapa kita hari ini.
Ketika saya mengingat masa-masa itu, terbayang jelas suasana sekolah dasar sekitar tahun 1969. Kepala sekolah kami, Pak Suharsono, adalah sosok yang gagah.
Posturnya tinggi besar, rambutnya hitam pekat selalu disisir rapi ke belakang, dan keningnya yang lebar seakan menjadi layar tempat kami melihat wibawa seorang pemimpin. Pakaiannya rapi, sepatunya selalu mengilap. Pada setiap upacara Senin pagi, suara besarnya memenuhi udara, namun memberikan rasa nyaman—bukan ketakutan.
Di sisi lain, ada Pak Muji, guru seni menggambar. Ah, siapa yang bisa melupakan beliau? Dengan tubuhnya yang tinggi kurus dan sepeda ontel hitamnya yang mengilap, ia tampak seperti Mr. Bean yang kebetulan tinggal di kampung kami.
Beliau adalah maestro seni dalam cara yang sederhana namun memikat. Teknik menggambarnya? Sederhana saja, tapi membekas. “Untuk menggambar ayam, mulailah dengan dua telur,” katanya.
Satu telur besar untuk tubuh, satu lagi untuk kepala. Hubungkan dengan garis, tambahkan paruh, jengger, dan bulu-bulu, dan lihatlah: seekor ayam muncul di kertas kami! Cara beliau mengajar membuat seni terasa mudah dan menyenangkan, bahkan untuk yang berbakat menggambar tahu isi seperti saya.
Namun, di balik tawa dan kemudahan, ada ketegasan yang datang dari guru seperti Bu Jati. Guru Ilmu Bumi ini adalah sosok mungil dengan semangat sebesar gunung. “Kalau salah jawab, siap-siap ya!” katanya, dan cubitan di pinggang adalah hukuman standar. Sadis? Mungkin. Tapi di balik itu, ada pelajaran tentang ketelitian yang tertanam di hati kami.
Lanjut ke masa SMP, saya pindah ke Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTSN) Mamba’ul Ma’arif yang berada dibawah naungan Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang, sebuah institusi yang penuh kharisma. Saat itu, pondok ini dipimpin oleh KH. Shohib Bisri, pelanjut dan pemangku pondok dzurriyat pendiri pesantren ini, KH. Bisri Syansuri,
Kepala sekolah kami, KH. Muhammad Iskandar, adalah figur yang disegani. Beliau adalah ayah dari Muhaimin Iskandar, yang kini dikenal sebagai Ketua Umum PKB. Muhaimin adalah teman saya selama enam tahun. Di lingkungan ini, guru-guru bukan hanya pengajar, tetapi panutan dengan ilmu agama yang mendalam.
Ada Pak Romli, guru matematika yang mengajarkan logaritma, sinus, kosinus, hingga cara mengukur ketinggian menggunakan busur. Sosok beliau sangat khas: kulit hitam legam, rambut disisir rapi ke belakang dengan minyak, kening mengilap, dan baju safari tebal. Namun, cara mengajarnya sering membuat kami “berkeringat dingin.”
Tidak bisa menjawab soal? Siap-siap wajah dihias bedak debu kapur tulis. Tapi di sisi lain, siapa yang bisa menyaingi beliau dalam keahlian membaca kitab kuning seperti Alfiyah Ibnu Malik? Sosok ini adalah kombinasi unik antara intelektual matematis dan ulama tradisional.
Tidak kalah menarik adalah Pak Fatih, guru seni kaligrafi. Dengan tubuh besar, rambut ikal panjang, dan gaya nyentrik, ia seperti seniman yang tersasar ke pondok pesantren. Saat acara besar, beliau mengarahkan kami membuat dekorasi megah penuh kaligrafi yang memukau.
Atau Pak Abdus Shomad, guru Bahasa Indonesia, yang dengan gayanya yang santai dan menyenangkan, mengenalkan puisi, pantun, dan seni sastra lainnya. “Tulis apa yang kamu rasakan, jangan takut salah,” katanya, dan dari situ kami belajar bahwa sastra adalah tentang ekspresi, bukan sekadar aturan.
Ada pula Pak Hamdan, guru tata bahasa Arab, yang konon sepupu dari penyanyi legendaris Jamal Mirdad. Selain tampan, beliau punya keahlian luar biasa dalam ilmu nahwu dan sharaf. Dari beliau, kami belajar bagaimana satu kata dalam bahasa Arab bisa berubah bentuk dan makna, memberikan fondasi kuat bagi pemahaman Al-Qur’an.
Namun, yang membuat sekolah ini istimewa bukan hanya para guru. Itu juga tentang interaksi di antara kami, para murid. Seperti ketua kelas saya yang kerap mendoakan agar Pak Romli sakit perut, hanya agar pelajaran matematika batal. Atau teman yang lebih senang menggambar “tahu isi” ketimbang ayam, dan tentu saja, obrolan ringan di sela-sela keseriusan belajar.
Kiprah yang Abadi
Mengapa kenangan masa sekolah begitu abadi? Mungkin karena pada masa itu, segala sesuatu terasa lebih intens—baik rasa hormat, tawa, maupun rasa takut.
Guru-guru zaman dulu mengajarkan kita bukan hanya ilmu, tetapi juga karakter. Dengan jeweran, cubitan, atau bedak kapur, mereka mengajarkan disiplin, ketekunan, dan ketangguhan. Tidak ada dendam, hanya rasa syukur yang tertinggal.
Kini, di era modern, cara mengajar tentu berubah. Tidak ada lagi jeweran atau kapur melayang. Guru lebih berperan sebagai fasilitator, dan pendekatan emosional menjadi lebih penting. Namun, semangat mendidik tetaplah sama: membentuk generasi yang cerdas dan berkarakter.
Seperti kalimat terkenal dari Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world”. Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat Anda gunakan untuk mengubah dunia.
Guru-guru saya adalah pejuang yang memegang “senjata” ini dengan penuh dedikasi, bahkan jika caranya terkadang terasa keras. Mereka mengajarkan kami untuk tidak menyerah, untuk terus belajar, dan untuk menghormati ilmu di atas segalanya.
Dan jika saya bisa kembali ke masa itu, saya akan berkata pada Pak Romli, Bu Jati, Pak Muji, dan semua guru saya: “Terima kasih telah membentuk kami menjadi manusia yang lebih baik. Tanpa kalian, tidak ada saya yang hari ini. Selamat Hari Guru!
*) Ust. Drs. Khoirul Anam, penulis adalah guru ngaji di Rumah Qur’an Yahfin Siregar Tamora dan pengasuh di Hidayatullah Al-Qur’an Learning Centre Medan