JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Hidayatullah DKI Jakarta menggelar malam perkumpulan atau Lailatul Ijtima’ di Pusat Dakwah Hidayatullah (PDH), Jln Cipinang Cempedak I/14, Otista, Polonia, Jatinegara, Jakarta, Jum’at, 20 Rabi’ul Awal 1445 (6/10/2023).
Gelaran Lailatul Ijtima’ ini dalam rangka silaturrahim mengeratkan kebersamaan sekaligus konsolidasi menyambut Silaturrahim Nasional (Silatnas) Hidayatullah 2023.
Hadir sebagai narasumber pada kesempatan ini Anggota Dewan Pertimbangan (Wantim) Hidayatullah Dr. Ir. H. Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar, M.Si, Ketua Dewan Murabbi Hidayatullah DKI Jakarta Ust. Mohammadilis Karyadi, Lc, Ketua DPW Hidayatullah DKI Jakarta Ust. Muhammad Isnaeni dan dipandu moderator Ketua Umum PP Pemuda Hidayatullah Bung Rasfiuddin Sabaruddin.
Dalam sajian materinya, Abdul Aziz menyampaikan beberapa model istilah gaya kepemimpinan yang acapkali mengemuka dalam ruang ruang dialektika Hidayatullah, salah satunya adalah kepemimpinan spiritual.
Selain itu, Aziz juga memaparkan istilah model lainnya yaitu kepemimpinan imamah jamaah, kepemimpinan syura, dan kepemimpinan nubuwwah.
Secara garis besar kesemua model ini memiliki tarikannya masing masing. Namun, yang mendasar keempat sistem kepemimpinan ini diaplikasikan dalam ketaatan. Ukuran paling kecilnya, menurut Aziz, adalah pada kegiatan halaqah.
“Kalau tingkat kehadiran di halaqah 70 persen, ya segitulah tingkat ketaatannya di Hidayatullah,” kata Aziz tersenyum seraya menekankan bahwa halaqah sebagai medium menjaga kualitas iman dan takwa.
Hidayatullah dengan model kepemimpinan spiritual, terang Aziz, artinya gerakan ini sangat besar muatan spiritualnya. Maka, jelas Aziz, pemimpin pemimpin dan kepemimpinan Hidayatullah harus kuat spiritualnya.
“Substansi dari keempat model kepemimpinan ini harus kita wariskan, seperti kepemimpinan spiritual yang teraksentuasi dalam Sistematika Wahyu Surah Al Muzammil,” katanya.
Disamping itu, Aziz mengatakan, semangat dalam model kepemimpinan ini memiliki muatan senada yang mendorong umat untuk tandang ke gelanggang berkhidmat dalam kebaikan di tengah masyarakat.
“Muhammad bahkan sebelum menjadi Nabi, tidak pernah menjadi penonton dalam realitas masyarakat. Artinya, kita yang mengatakan bermanhaj dan mainstream dakwah, tidak boleh kita menjadi penonton. Pemuda harus ada keterlibatan dalam kegiatan sosial,” tandasnya.*/Puji Asmoro