JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Ketua Departemen Hubungan Antarbangsa Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, Dzikrullah W. Pramudya, mengatakan untuk membawa Indonesia unggul, kader muda bangsa, terutama Pemuda Hidayatullah harus memiliki penguasaan yang mendalam tentang wawasan nusantara.
“Pemuda Hidayatullah harus menguasai narasi wawasan kebangsaan, ketahanan nasional, dan konsolidasi teritorial Indonesia, sebaik mungkin,” kata wartawan senior yang biasa disapa Babeh ini saat menjadi narasumber Majelis Online Pemuda (MOP) Pemuda Hidayatullah yang mengangkat topik “Wawasan Nusantara dalam Percaturan Dunia”, disiarkan langsung channel YouTube Hidayatullah ID, Jum’at, 7 Muharram 1444 (5/8/2022).
Kata Babeh, pemuda Hidayatullah mesti tampil sebagai orang yang paling fasih dalam menjaga Indonesia sebagai sebuah bangsa yang tujuan utamanya adalah baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur (negeri yang tentram, subur, aman, nyaman, dan damai).
Dia menjelaskan, dalam Ketetapan MPR Tahun 1993 dan 1998 tentang GBHN disebutkan bahwa Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingungan dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara agar masyarakat mencapai tujuan nasional.
Olehnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengutamakan persatuan dan kesatuan kemudian bahu-membahu menciptakan kultur dan lingkungan hidup yang baik untuk kesejahteraan dan keadilan. Demikian pula dalam kancah percaturan dunia.
“Di pentas geopolitik internasional dan hubungan antarbangsa, Pemuda Hidayatullah harus mampu mengajak pemuda pemuda yang lain berinteraksi secara intensif dengan komponen umat Islam khususnya pemuda Islam dari berbagai wilayah dunia yang lain,” katanya.
Pada kesempatan itu Babeh menyampaikan 3 dimensi yang paralel yang perlu menjadi ingatan bagi anak anak bangsa dalam menguatkan wawasan nusantara ke dalam kancah percaturan dunia, yaitu dimensi ideologi pemikiran, penguasaan narasi wawasan nusantara, dan ketiga, berkiprah tanpa batas batas negara.
“Jangan batasi interaksi itu hanya di Indonesia saja. Siapkanlah panggung untuk penerus kalian dimasa depan untuk melangkah borderless. Tanpa batas,” katanya.
Babeh juga membahas relevansi wawasan nusantara dengan sejarah faktual dalam aspek teritorial dimana Indonesia memiliki strategi dan konsep pertahanan pulau pulau yang ada.
Pada kesempatan itu, Babeh juga menyampaikan perbedaan asas geopolitik peradaban lain dan geopolitik Islam. Dia mengatakan asas geopolitik Islam berbeda 180 derajat dengan asas geopolitik peradaban atau bangsa bangsa lainnya.
“Kalau bangsa bangsa lain, asas geopolitiknya itu adalah kepentingan untuk kejayaan politik dan ekonomi. Sedangkan Islam, asas utama geopolitiknya adalah hidayah, rahmah, dan berkah yang sasarannya adalah seluruh dunia. Rahmatan lil ‘alamiin,” tukasnya.
Sementara itu, narasumber lainnya, dosen Hubungan Internasional Fisip Universitas Indonesia (UI) Shofwan Al-Banna, PhD, menyampaikan kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari situasi dan kondisi geopolitik yang terjadi kala itu.
Bung Karno dan banyak tokoh bangsa yang sadar bahwa Indonesia harus jadi bangsa yang seutuhnya membaca dengan sangat jeli, sehingga sekuat tenaga memperjuangkan kemerdekaan.
Shofwan menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya mungkin dan benar-benar diraih karena para pejuang kita adalah pembaca kelas berat. Jadi paham apa yang akan terjadi dan karena itu mampu bertindak cepat.
Menurut Showan, kondisi kekuatan global belakangan dengan sistem liberal order yang menawarkan kesejahteraan tengah sempoyongan menghadapi perubahan kekuasaan yang terus terjadi.
“Pada sistem liberal order itu banyak pembangunan berlangsung namun sedikit manusia yang bisa akses,” katanya seraya menyebut sejumlah negara seperti Srilanka yang terdampak dari sistem ini.
Jadi, kata Shofwan, kita mengalami kelangkaan bukan karena barangnya tidak ada, tetapi karena memang begitulah sistem ekonomi kapitalis.
Ketika kekuatan besar itu mulai sempoyongan, lanjut Shofwan, harusnya muncul kekuatan baru yang mampu mempercepat “shift of power” itu sendiri.
Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah Imam Nawawi yang menyampaikan kata penutup dalam acara webinar tersebut menyampakan apresiasi atas pengayaan disampaikan oleh narasumber yang menurutnya sangat penting dan mendasar.
“Kita menemukan kunci dan sandi sandi untuk kawan kawan pemuda lebih produktif lagi dalam membangun masa depan,” katanya.
Dia mengatakan, kalau dulu Soekarno membaca kemudian pidato dan betindak pada saat usia muda, berarti secara siklus spirit itu yang harus menjadi idealisme yang dibangun oleh anak anak muda.
Dalam kata yang lain, lanjutnya, Soekarno, Agus Salim, Natsir, dan guru bangsa Tjokroaminoto adalah sosok pembaca kelas berat, yang itu dalam konteks historis wahyu Al-Quran, benar-benar memanivestasikan perintah membaca (iqra’) secara sempurna, iqra’ bismirabbik.
Menurut Imam, angkatan muda Hidayatullah perlu dan harus terus bergerak membina generasi muda kendati diwaktu yang sama tak sedikit yang nyemplung diri ke kancah pragmatis belaka. Apalagi sejarah selalu menitipkan program perubahan kepada anak muda.
“Tema ini merupakan satu keinginan besar pemuda Hidayatullah untuk bagaimana masa depan bisa digambarkan dan pada saat yang sama melangkah untuk bisa memberi warna,” tandasnya.
Acara yang dipandu oleh Sekretaris Jenderal PP Pemuda Hidayatullah Mazlis B. Mustafa ini dihadiri juga oleh Kabid Organisasi DPP Hidayatullah Asih Subagyo, perwakilan pengurus wilayah Pemuda Hidayatullah dari berbagai provinsi, dan juga peserta mahasiswa dari luar negeri seperti Yaman, Sudan, Turki, dan New Yok, Amerika Serikat.*/Ainuddin Chalik